Kebebasan Per di Era Reformasi

Kebebasan Per di Era Reformasi

Masyarakat nan merdeka dan demokratis bisa dilihat dari kebebasan pers . Mengapa demikian? Karena pers merupakan salah satu sumber informasi bagi masyarakat. Kebebasan pers berarti kebebasan dalam memperoleh informasi, mengungkapkan pendapat dan opini nan membangun peradaban.

Informasi menjadi kebutuhan krusial bagi masyarakat saat ini. Melalui informasi, masyarakat menjalani kehidupan mereka. Hal ini terlihat dari laris manisnya perkembangan teknologi dalam mempermudah perolehan infomasi, misalnya akses internet buat memperoleh informasi maupun buat memberikan informasi nan bisa dilakukan kapan pun, di mana pun selama jaringan internet bisa ditemukan.

Bahkan dengan adanya pencerahan masyarakat akan kebutuhan informasi, internet menjadi bagian dari pelayanan tambahan di lokasi-lokasi pusat kegiatan masyarakat seperti perkantoran, sekolah, kampus, maupun tempat-tempat makan. Dengan peningkatan kebutuhan informasi nan sedemikian rupa, kebebasan pers menjadi sebuah keharusan bagi negara merdeka.

Kebebasan pers selain berkenaan dengan kebebasan informasi, juga merupakan bagian dari aplikasi dan penegakkan hak asasi manusia dalam hal kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan menyampaikan pendapat tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 nan berbunyi “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang ”.

Selain itu, kebebasan menyampaikan pendapat ini juga tercantum dalam Undang-Undang No.9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat pasal 1 ayat 1 nan berbunyi “ Kemerdekaan menyampaikan pendapat ialah hak setiap warga negara buat menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sinkron dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nan berlaku” dan pasal 5 nan berbunyi “Warga negara nan menyampaikan pendapat di muka generik berhak buat : 1. Mengeluarkan pikiran secara bebas; 2. Memperoleh konservasi hukum ."

Berdasarkan dasar hukum nan dimiliki Indonesia mengenai kebebasan berpendapat, maka kebebasan pers memiliki ruang nan sangat leluasa di negara ini. Melalui kebebasan pers, masyarakat bisa tercerahkan pengetahuan maupun pandangannya terhadap suatu hal. Kebebasan pers juga memberikan kesempatan kepada masyarakat buat menilai berbagai pemberitaan nan berputar di tengah kehidupan mereka.



Perjuangan Kebebasan Pers di Indonesia

Kebebasan pers di Indonesia pada pelaksanaannya memiliki kisah perjuangan nan cukup panjang. Kehadiran pers telah mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia sejak masa kolonial Belanda.

Salah satu kisah munculnya perjuangan kebebasan pers bisa kita baca melalui karya Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru , sebuah karya sastra sejarah. Keempat karya ini menceritakan awal kemunculan pers pribumi nan diperjuangkan oleh tokoh kebebasan pers Indonesia Raden Mas Tritoadisuryo nan dikenal dengan TAS.

Buku tersebut mengisahkan bahwa melalui pers TAS memperjuangkan kebenaran dengan membantu kasus-kasus hukum nan dialami masyarakat khususnya masyarakat pribumi (saat itu masyarakat terdiri dari Pribumi, Tionghoa, Arab, dan Belanda). Selain itu, TAS juga membeberkan keburukan-keburukan organisasi Belanda seperti perebutan paksa huma buat pabrik gula dan pemerintahan nan korup.

Semua informasi nan hendak dibaginya kepada masyarakat ia tuangkan dalam surat kabar nan bernama Medan Priyayi yang berdiri sekitar tahun 1907. Keberaniannya mengungkapkan hal-hal nan dianggap mengganggu pemerintahan Belanda saat itu, menjadikan TAS mengalami banyak penderitaan termasuk diasingkan ke pulau terpencil oleh pemerintah Belanda.

Pada masa itu, kebebasan pers memang belum ada. Surat kabar nan bermunculan saat itu mengalami banyak restriksi dalam menuliskan berita. Meski demikian, surat-surat kabar terus bermunculan baik milik pribumi, Tionghoa, maupun Belanda.

Sejak masa kolonial Belanda, pers menjadi bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ide dan tujuan dibangunnya negara Indonesia merdeka juga disebarluaskan oleh pers kepada masyarakat sehingga semangatnya meluas hingga berbagai daerah di Nusantara.

Meski terus mengalami restriksi oleh pemerintahan Belanda, perjuangan buat mencapai kebebasan pers terus dilakukan baik melalui jalur hukum maupun perjuangan angkat senjata. Hal ini dibuktikan dengan munculnya surat-surat kabar nan melanjutkan perjuangan Medan Priyayi dalam mengusung kebebasan pers dan kemerdekaan seperti Harian Utusan Hindia, Sinar Merdeka, dan Suara Rakyat pada periode tahun 1918 hingga tahun 1926.

Memasuki masa revolusi Indonesia merdeka, perusahaan-perusahaan penerbitan surat kabar milik Jepang seperti Suara Asia di Surabaya, Cahaya di Bandung, dan Sinar Baru di Semarang menjadi target primer buat segera diduduki dan direbut oleh para pejuang kemerdekaan. Sejak saat itu, hari-hari setelah kemerdekaan pemberitaan dalam surat kabar berisikan mengenai kemerdekaan Indonesia.

Kondisi pers Indonesia pun mengalami perkembangan. Minat masyarakat terhadap warta semakin tinggi bahkan hingga ke pelosok daerah. Profesi jurnalistik pun banyak diminati oleh kaum muda revolusioner. Hal ini kemudian melahirkan persatuan wartawan pertama di Indonesia nan berdiri pada 1946.

Namun, kebebasan pers belum juga terwujud dengan baik. Pemerintahan Orde Lama nan dipimpin oleh Presiden Soekarno bahkan melakukan pembredelan terhadap beberapa surat kabar sebab mengusung kepentingan politik nan memanas sebab adanya persaingan ideologi.

Pada 1948, pembredelan pertama surat kabar dilakukan oleh pemerintah. Surat kabar nan mengalami pembredelan saat itu ialah Suara Ibu Kota, Buruh, dan Patriot . Pembredelan ini dilakukan buat membatasi kebebasan pers dalam memengaruhi masyarakat melalui pembentukan opini terhadap suatu ideologi tertentu, serta mengganggu stabilitas nasional.

Upaya perjuangan memperoleh kebebasan pers terus dilakukan oleh insan pers Indonesia. Pada 1949, setelah kemerdekaan Indonesia mendapat pengakuan dari Belanda, undang-undang berkaitan dengan kebebasan pers pun mulai dicetuskan. Misalnya dalam Undang-Undang Dasar (yang berlaku saat itu) dalam pasal 19 tercantum kalimat “ Setiap oraang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat .”

Berdasarkan UUD pasal 19 tersebut, upaya perjuangan kebebasan pers saat itu melibatkan pemerintah Republik Indonesia agar ikut memperjuangkan kebebasan pers dengan memberikan konservasi kepada pers nasional, memberikan fasilitas nan dibutuhkan oleh perusahaan penerbitan surat kabar, dan mengakui kantor warta Antara sebagai kantor warta nasional nan patut memperoleh fasilitas dan konservasi (Sidang Komite Nasional Pusat pleno IV di Yogyakarta tanggal 7 Desember 1949).

Dalam perkembangan pelaksanaannya, kebebasan pers belum juga terwujud. Presiden Soekarno kembali melakukan pembredelan beberapa surat kabar setelah diberlakukannya situasi darurat perang pada 1957. Pembredelan tak hanya dilakukan dengan penutupan percetakan, tetapi juga penahanan beberapa wartawan.

Peraturan-peraturan nan memberatkan perusahaan penerbit surat kabar pun bermunculan dan mulai diimplementasikan. Kebebasan pers Indonesia terus mengalami kemunduran sejak Peristiwa Gerakan 30 September 1965.



Kebebasan Pers Masa Orde Baru

Memasuki masa Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia tak mengalami kemajuan. Pemerintah Orde baru lebih keras dalam membatasi perjuangan memperoleh kebebasan pers di Indonesia. Pembredelan demi pembredelan terus terjadi bagi surat-surat kabar nan dianggap tak pro-pemerintahan Orde Baru.

Pada 1974, lebih dari 12 kantor penerbitan surat kabar telah dibredel pemerintah sebab pemberitaannya dianggap menghina kepala negara atau aplikasi pemerintahan, merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta mengganggu ketertiban dan keamanan negara.

Memasuki tahun 1978, terkait dengan protes mahasiswa nan menolak Soeharto sebagai presiden, kebebasan pers kembali dikecam dengan adanya pembekuan penerbitan bagi beberapa surat kabar di antaranya seperti Kompas, Sinar Harapan, Sinar Pagi dan Pos Sore .

Pada masa-masa selanjutnya, pembredelan di masa Orde Baru terus dilakukan kepada pers nan mengusik pemerintah. Perjuangan kebebasan pers sama sekali tak mendapatkan pencerahan.



Kebebasan Per di Era Reformasi

Pada 1998, lahir momentum runtuhnya kekuasaan Orde Baru nan kemudian melahirkan reformasi dan merupakan momen bagi berbagai bidang di Indonesia, termasuk perjuangan memperoleh kebebasan pers. Reformasi telah memberikan kesempatan nan sangat besar bagi lahirnya kebebasan pers Indonesia.

Melalui reformasi nan mengarah pada pemugaran disegala bidang kehidupan, kebebasan pers menjadi suatu hal nan absolut buat dilaksanakan demi tercapainya kehidupan demokratis nan total. Sejak diawalinya reformasi, maka lahirlah kebebasan pers di Indonesia. Hal ini ditandai dengan direvisinya anggaran mengenai perizinan penerbitan (SIUPP) dan pencabutan anggaran mengenai wadah tunggal organisasi wartawan. Dengan demikian, global pers nasional meraih kebebasannya.



Kebebasan Pers nan Kebablasan

Kebebasan pers nan mulai berjalan di Indonesia sejak masa reformasi ternyata ikut memberikan akibat nan negatif bagi masyarakat dan global jurnalistik. Sejak munculnya kebebasan pers di Indonesia dan adanya kemudahan memperoleh izin penerbitan, geliat perusahaan penerbitan di Indonesia ikut mengalami peningkatan.

Sayangnya, peningkatan tersebut diikuti oleh munculnya tabloid-tabloid nan bernuansa pornografi atau surat-surat kabar nan dalam pemberitaannya tak memperhatikan etika jurnalistik, tak berdasarkan pada konfirmasi objek warta tetapi hanya berdasarkan rumor, dan daya jual warta tersebut di tengah masyarakat. Kebebasan pers nan seperti ini tentu tak mendidik masyarakat, bahkan cenderung meresahkan.

Ditambah lagi dengan adanya teknologi nan memudahkan mengakses informasi melalui internet, kemunculan berita-berita nan spekulatif dan provokatif pun semakin mengkhawatirkan nan artinya kebebasan pers menjadi kebablasan.

Munculnya kenyataan kebebasan pers nan kebablasan, mendorong pemerintah buat menciptakan anggaran dan kebijakan melalui undang-undang pers. Selain itu, dibentuk pula dewan nan mengawasi global pers nan disebut dengan Dewan Pers. Supervisi nan diberikan oleh Dewan Pers kurang maksimal sebab Dewan pers hanya mengacu kepada etika jurnalistik tanpa memiliki kewenangan lain terhadap tindakan kebebasan pers nan kebablasan ini.

Ketika kebebasan pers nan kebablasan ini semakin mengkhawatirkan dan pemerintah belum memiliki solusi nan konkrit, maka nan terjadi ialah bentuk penghakiman oleh masyarakat. Masyarakat melalui organisasi eksklusif melakukan tindak kekerasan terhadap kantor-kantor warta nan mereka anggap mengancam moral, menjelek-jelekkan tokoh organisasi mereka, dan berbagai alasan kemasyarakatan lainnya.

Pada akhirnya, kebebasan pers nan kebablasan ikut melahirkan tindakan anarkis nan dilakukan oleh masyarakat. Untuk mengatasi kebebasan pers nan kebablasan ini, lagi-lagi peran pemerintah dan organisasi pers sangat dibutuhkan.

Kebebasan pers harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan sinkron dengan kode etik jurnaslistik nan dijunjung tinggi oleh insan pers. Kebebasan pers juga sebaiknya menjadi fasilitator pembelajaran nan baik bagi masyarakat bukan hanya bagi kepentingan politik maupun bisnis berita.