Pajak dalam Pertambangan

Pajak dalam Pertambangan

Pajak pertambangan batubara berlaku di Indonesia atas hasil perjanjian antara pemerintah dengan para pengusaha batu bara. Awalnya, batu bara dan bahan mineral lainnya nan terkandung di badan Indonesia tak mendapat konservasi hukum sehingga ada pihak nan mengeksploitasi bahan mineral ini secara besar-besaran tanpa tujuan nan jelas. Adanya pajak pertambangan batu bara diharapkan bisa membatasi penggunaan batu bara,dan mengawasi pengelolaan batu bara. Imbas dari adanya pajak ini ialah dengan adanya perlakuan pajak, PPN, dan PPh nan mengikuti mengikuti ketetapan dalam Kontrak Karya atau PKP2B.
Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, bentuk perjanjian nan terjalin antara pemerintah dan pengusaha batu bara.



Pajak dalam Pertambangan

Isi UU ini mengenai bentuk perjanjian nan berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan atau IUP. IUP merupakan ijin dengan konsekuensi penarikan pajak nan harus berdasarkan ketentuan perundangan-undangan nan berlaku, yaitu undang-undang perpajakan. Untuk menentukan jenis PPh, bisa dari batas penghasilan dan biaya nan didapat kemudian dikurangi dari hasil bruto sinkron peraturan UU PPh. Yang membedakan ialah pengaturan dari biaya cadangan reklamasi nan nantinya digunakan sebagai biaya operasi nan mengurangi penghasilan kotor sebuah perusahaan nan bersangkutan.

Ketentuan mengenai hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2009 nan menyatakan bahwa perusahaan nan bergerak dalam sektor pertambangan bisa membebankan biaya reklamasi dalam bentuk estimasi cadangan reklamasi, nan dihitung berdasarkan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber daya mineral. Sekalipun pada batas akhir waktu penambangan terdapat selisih, selisih tersebut bisa dijadikan penghasilan atau kerugian di tahun nan bersangkutan.

Untuk menentukan jenis PPN, ada dua hal nan perlu diperhatikan, yaitu status batu bara dan penarikan PPN atas DHPB. Status batu bara nan berubah dari Barang Kena Pajak atau BKP ke posisi non-BKP akan berdampak pada tagihan royalti nan mencapai puluhan triliun rupiah. Hal ini terjadi sebab ketika status batu bara berupa BKP, perusahaan memiliki kewajiban menjalankan prosedur Pajak Masukan dan Pajak Keluaran PPN. Jika batu bara sudah tak lagi berupa BKP, pengusaha batu bara akan menahan pembayaran royalti. Ada dua hal nan diperhatikan dalam optimalisasi penerimaan pajak sektor batu bara, yakni baku dan audit biaya reklamasi serta supervisi penarikan PPN DHPB.

Pada umumnya sebuah perusahaan nan bergerak dalam sektor pertambangan memiliki siklus usaha dari penyelidikan umum, nan dilanjutkan dengan eksplorasi, lalu studi kelayakan, konstruksi, eksploitasi, dan terakhir reklamasi.

Masing-masing proses nan dilakukan oleh perusahaan ada kewajiban pajak nan harus dipenuhi. Penyelidikan generik terhadap potensi mineral nan dimiliki oleh sebuah daerah diperlukan oleh pihak peneliti geologis. Untuk membayar jasa tersebut, perusahaan bisa melihatnya dalam PPN dan PPh Pasal 23/26 tentang perincian biaya nan dikenakan berdasarkan siapa nan melaksanakan.

Pada termin eksplorasi, nan dilakukan ialah rangkaian kegiatan penelitian, uji pemetaan wilayah, jumlah kandungan mineral nan terdapat di suatu daerah tersebut, dan rangkaian lain nan dilakukan guna mendapat informasi mengenai dimensi, lokasi, kualitas, sebaran, info lingkungan sosial dan lingkungan hayati serta sumber daya. Untuk membayar jasa pihak ketiga telah tertuang dalam PPN dan PPh Pasal 23/26 tentang perincian biaya nan dikenakan berdasarkan siapa nan melaksanakan.

Untuk termin studi kelayakan, nan berfungsi sumber informasi mengenai kepantasan ekonomi serta teknik pertambangan dan proses analisis terhadap akibat lingkungan serta perencanaan pasca tambang telah dijelaskan pada PPN dan PPh Pasal 23. Setelah melalui termin studi kelayakan, selanjutnya ialah termin konstruksi atau pembangunan infrastruktur. Jasa ini tertuang dalam PPN dan PPh Pasal 4 ayat 2 mengenai biaya nan dikenakan berdasarkan siapa nan melaksanakan. Kemudian termin pendayagunaan nan meliputi land clearing atau proses pembukaan lahan, pengeboran dan penggalian, pengolahan, pengangkutan, dan penjualan batu bara. Untuk menghargai jasa pihak ketiga, tertuang dalam PPh Pasal 23/26 dan PPN.

Terakhir, termin reklamasi, yakni proses rehabilitasi lingkungan nan rusak dampak kegiatan penambangan. Upaya ini dilakukan buat menjadikan huma pertambangan kembali layak digunakan. Jika kegiatan ini dilakukan oleh pihak ketiga, maka segala anggaran tertuang dalam PPh Pasal 23/26 dan PPN. Selain jenis-jenis pajak nan harus ditanggung nan telah dijelaskan di awal, ada pula kewajiban nan harus dipikul oleh perusahaan, yakni upah buat pegawai tetap, pegawai tak tetap, orang pribadi nan bukan pegawai. Pembayaran upah pun dikenai pajak atas PPh Pasal 21.

Pajak batu bara juga memperhatikan Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB sinkron dengan UU Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara nan tertuang pada pasal 1 angka 1 dengan pernyataan bahwa pertambangan ialah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara nan meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

Dalam pasal 128 menyatakan pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Sinkron dengan UU Republik IndonesiaNomor 12 Tahun 1985 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan, nan menjadi target ialah bumi dan/atau bangunan dan orang nan menjadi target pajak ialah orang atau badan nan secara konkret mempunyai suatu hak, memperoleh manfaat, dan menguasai atas bumi dan bangunan tertentu.

Hal ini dipertegas dengan adanya Keputusan Jenderal Pajak mengenai Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada pasal 1 angka 8 dengan pernyataan sektor pertambangan ialah objek Pajak Bumi dan Bangunan nan meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan. Juga tentang pengenaan Pajak Bumi dan bangunan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak pada pasal 8, besar nilai jual objek pajak atas objek pajak sektor pertambangan non migas selain pertambangan energi geothermal dan galian C ditentukan sebagai berikut.

  1. Areal produktif ialah sebesar 9,5 x hasil higienis galian tambang dalam satun tahun sebelum dikenakan pajak.
  2. Areal belum produktif nan berada di dalam atau di luar wilayah kuasa pertambangan ialah sebesar nilai jual objek pajak berupa tanah nan digunakan dengan penyesuaian seperlunya.
  3. Objek pajak berupa bangunan ialah sebesar nilai objek pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 15.

Sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan non migas selain pertambangan energi geothermal dan galian C nan telah diatur dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut.

  1. Penyelidikan umum, dikenakan 5% dari luas areal wilayah kuasa pertambangan dengan nilai jual objek pajak berupa tanah seperti nan ditetapkan oleh Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.
  2. Eksplorasi pada tahun pertama hingga kelima dikenakan masing-masing sebesar 20% dari luas areal wilayah kuasa pertambangan dengan nilai jual objek pajak berupa tanah seperti nan ditetapkan oleh Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.
  3. Eksplorasi buat perpanjangan I dan II dikenakan sebesar 50% dari luas areal wilayah kuasa pertambangan dengan nilai jual objek pajak berupa tanah seperti nan ditetapkan oleh Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.
  4. Pembangunan fasilitas ekplorasi sampai proses produksi ialah luas areal wilayah kuasa pertambangan dengan nilai jual objek pajak berupa tanah seperti nan ditetapkan oleh Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.