Tragedi Semanggi I

Tragedi Semanggi I

Hak asasi manusia atau nan biasa disebut dengan HAM ialah hak dasar nan dimiliki manusia sejak lahir, hak ini tak terpisah dari hakekat seseorang sebagai manusia. Hak nan termasuk dalam HAM ini antara lain ialah hak hidup, hak sebagai orang nan merdeka dan hak memiliki sesuatu. Namun kadang kala banyak sekali pelanggaran HAM di Indonesia .

Hak-hak tersebut bisa dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu hak asasi pribadi, hak asasi dalam tatanan peradilan, hak asasi ekonomi, hak asasi memperoleh perlakuan tanpa subordinat dalam hukum dan pemerintahan, hak asasi politik dan hak asasi sosial budaya. Tetapi tampaknya banyak masyarakat Indonesia nan kurang memahami mengenai HAM ini. Sehingga mereka merasa bebas melakukan pelanggaran HAM Indonesia.

Suatu contoh konkret nan terjadi baru-baru ini ialah kasus penembakan narapidana di LP Cebongan dan penyerbuan dan penyerangan pada Jamaah Ahmadiyah.
Berikut ini ialah beberapa contoh pelanggaran HAM Indonesia nan telah memakan banyak korban nyawa.



Konflik Maluku

Konflik nan terjadi di Maluku, tepatnya di Kota Ambon ini berlatar belakang agama. Pelaku kekerasan melakukan operasinya di daerah perbatasan wilayah penduduk nan beragama Kristen dengan penduduk nan beragama Islam. Pelaku kekerasan ini meneror dengan cara membakar rumah dan membunuh. Warga sendiri telah berjaga-jaga secara swadaya dengan pembuatan barikade dan memberlakukan anggaran nan membatasi orang buat keluar atau masuk wilayah tersebut. Di sekitar kota pun sering terdengar ledakan bom dan suara tembakan.

Korban dari konflik tersebut, sekitar 8 ribuan orang tewas dan 4 ribu orang luka-luka. Begitu banyak bangunan dibakar, baik itu rumah, pasar, perkantoran dan sekolah. Sehingga banyak masyarakatnya nan terpaksa mengungsi. Kurang lebih 692 ribu jiwa mengungsi ke luar wilayah tersebut, baik itu masih dalam Maluku maupun keluar Maluku.

Tampaknya pemerintah pun tak peduli buat menyelesaikan konflik ini. Terbersit ketakutan pada pemberlakuan Daerah Operasi Militer dan kecurigaan bahwa antar umat beragama akan saling serang ketika dilakukan pencabutan Darurat Sipil. Masyarakat pun menjadi bingung, putus harapan dan trauma pada keadaan di Ambon dan tidak jelasnya proses buat mengatasi ketegangan dan konflik nan terjadi.

Pemukiman nan terdapat di Kota Ambon ini terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Islam dan Kristen. Kegiatan masyarakat dilakukan di dalam kawasan masing-masing. Dalam kehidupan sosial masyarakatnya, komunikasi antar kawasan tidak berjalan dengan baik. Sehingga timbul rasa curiga antar umat beragama. Hal inilah nan dimanfaatkan pihak ketiga agar konflik tidak kunjung berhenti. Pada akhirnya masyarakat harus mengantisipasi dan mencari solusi sendiri.

Pada jalur transportasi antar kawasan, sering terjadi penembakan hingga korban tewas atau luka. Akibat konflik juga tampak pada pendidikan. Banyak anak usia sekolah nan tidak bisa mengakses jalan menuju sekolahnya. Demi mengatasi masalah pendidikan ini, ada suatu forum non pemerintah nan menjalankan kegiatan Pendidikan Alternatif Maluku. Tetapi ternyata kegiatan tersebut justru membuat masalah baru. Beban belajar anak menjadi bertambah.

Di bidang kesehatan pun cukup miris, layanan kesehatan susah diakses oleh masyarakat. Masih banyak kekurangan tenaga dokter dan persediaan obat-obatan. Jika pun ada, harganya terlalu mahal. Sedangkan puskesmas sudah banyak nan tidak berfungsi. Warta nan dipublikasikan oleh media pun dianggap tak independen, sebab hal nan diberitakan mementingkan kepentingan kawasan tertentu. Sementara media-media nan seenaknya melakukan provokasi, tidak pernah diberi hukuman oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah.



Tragedi Semanggi I

Pada peristiwa ini, tepatnya terjadi pada 12 Mei 1998, terjadi penembakan pada beberapa mahasiswa nan usai melakukan unjuk rasa. Unjuk rasa nan diadakan pada 12 Mei 1998 tersebut dimulai pada sekitar pukul 10.00 – 11.00 WIB. Isi dari unjuk rasa tersebut berupa penolakan atas terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden. Tak hanya mahasiswa, aksi tersebut juga didukung oleh dosen dan pengurus yayasan.

Aksi unjuk rasa tersebut bagaikan acara resmi kampus, sebab beberapa hari sebelumnya telah disebarkan informasi buat mengosongkan parkiran kampus. Awalnya unjuk rasa dilakukan di dalam kampus, sapai pada siangnya mahasiswa setuju buat keluar menuju DPR.

Namun, ketika keluar kampus, Panglima Besar Wiranto mengeluarkan instruksi buat melarang mahasiswa keluar kampus. Mahasiswa pun tidak dapat keluar jauh dari kampus, sebab sudah dihadang oleh pasukan ABRI. Pasukan tersebut terdiri dari Unit Reaksi Cepat nan dikerahkan polisi dan Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) nan dikerahkan oleh TNI. Pada bagian depan pasukan tersebut terdiri dari polisi dengan pasukan TNI di belakangnya. Mereka semua membawa tameng dan senjata serta diiringi juga dengan tank.

Peristiwa saling berhadapannya mahasiswa dengan pasukan PPRM berada di depan kantor Walikota Jakarta Barat. Para wartawan pun banyak nan menaiki gedung walikota. Koordinator aksi mahasiwa nan bernama John Muhammad dan Pengurus Senat Universitas Trisakti pun bernegosiasi dengan ABRI. Salah satu dari pihak ABRI ialah Timur Pradopo nan sekarang menjabat Kapolri.

Di depan kantor walikota, para mahasiswa dan mahasiswi melakukan banyak hal dalam aksinya. Salah satunya ialah membagi-bagi kembang bagi pasukan ABRI. Beberapa mahasiswa melakukan orasi, nan sesekali diselingi oleh orasi dari dosen juga. Intinya ialah tuntutan agar Soeharto turun dari jabatannya. Hingga hampir tiba pukul 17.00 WIB, ABRI mendesak agar aksi tersebut bubar.

Ultimatum tersebut ialah bubar atau dibubarkan. Para mahasiswa pun membubarkan diri sebelum jam 17.00 WIB dan kembali ke kampus. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Ternyata ada alumni nan berjalan balik ke arah pasukan dan menyerang, maka polisi pun melepaskan tembakannya. Dan kekerasan pun dimulai.

Bagi nan tidak sempat kabur atau menyelamatkan diri, mereka dianiaya oleh aparat dengan dipukuli popor senjata hingga pingsan. Beberapa mahasiswa menyelamatkan diri ke Citraland dan diselamatkan oleh petugas keamanan di sana. Kampus Trisakti sendiri sangat rusuh, mereka membalas muntahan senjata dengan lemparan batu.

Penembakan terjadi sekitar 20 menit, dalam kampus sudah terdengar info ada nan tertembak. Ada lebih dari 4 orang nan tertembak. Tetapi ada 4 orang nan meninggal, mereka ialah Elang, Hafidin, Hendriawan dan Heri. Para korban dibawa ke Rumah Sakit, tetapi beberapa jam kemudian nyawanya sudah tak tertolong.

Elang nan menjadi salah satu korban nan tertembak wafat dimakamkan pada keesokan harinya, tanggal 13 Mei 1998. Pada tanggal 13 Mei 1998, aksi pun banyak bermunculan. Para mahasiswa dan awak media pun banyak mengumpulkan bukti pasca aksi. Termasuk ceceran darah dan sisa-sisa selongsongan peluru. Ternyata banyak muntahan peluru tersebut merupakan peluru tajam, bukan peluru karet.

Ini merupakan pelanggaran HAM Indonesia nan cukup berat. Karena penyerangan dilakukan oleh militer kepada warga sipil hingga menghabisi nyawa. Walaupun kasus ini telah diselesaikan di taraf Pengadilan Militer, namun hanya pelaku lapangan saja nan menerima hukuman berupa hukuman. Beberapa petinggi macam Wiranto tidak hanya lolos dari hukuman, tetapi pernah mencalonkan diri buat menjadi presiden di era reformasi. Bahkan di tahun 2014 nanti, Wiranto pun masih bernafsu buat mencalonkan diri kembali menjadi Presiden melalui partai Hanura nan dibentuknya.

Pelanggaran HAM Indonesia nan berkaitan dengan penurunan presiden tidak hanya terjadi di peralihan orde baru ke orde reformasi. Beberapa dasa warsa sebelumnya, peralihan antara orde lama ke orde baru pun banyak terjadi pelanggaran HAM, hingga akhirnya Soeharto dapat naik menjadi presiden.

Bahkan selama pemerintahannya di orde baru, Soeharto banyak melakukan pembantaian pada orang-orang nan dituduh PKI. Masyarakat pun dicekam rasa ketakutan jika sampai disebut sebagai antek PKI atau terlibat kegiatan nan dilangsungkan oleh PKI .

Pada orde reformasi, pembantaian lebih banyak dilakukan oleh organisasi massa keagaamaan nan bernama Front Pembela Islam. Mereka bebas melakukan penyerangan pada kelompok eksklusif dengan tuduhan sesat atau melakukan perbuatan maksiat.