Tafsiran Lain

Tafsiran Lain

Puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu merupakan salah satu puisi nan sangat menggugah dan memberikan semangat luar biasa. Sebuah persembahan dari seorang maestro puisi nan sangat fenomenal dan berbakat, Chairil Anwar. Beliau juga disebut-sebut sebagai pelopor pujangga baru Indoneisa. Deru Campur Debu juga menjadi judul sebuah film nan dibuat tahun 1970-an.



Tak Ada Habisnya

Membicarakan seorang Chairil Anwar itu tidak ada habisnya. Sama seperti seseorang nan menulis status facebook seperti ini, “Bengkak nan ini tidak enak rasanya”. Ketika dikomentari tentang kemungkinan nan bengkak ialah hatinya, sang pembuat status lalu mengatakan bahwa nan bengkak itu gusinya. Multi tafsir. Itulah nan menjadi hal nan cukup menarik ketika memberikan tafsiran atau dugaan termasuk tafsiran tentang puisi nan dikarang oleh Chairil Anwar.

Kata-kata nan terpenggal dalam balutan tidak lengkap menjadi astu kalimat tanpa konteks nan jelas, membuat orang mengira bahwa deretan kata-kata itu mungkin saja mengenai sesuatu nan berkaitan dengan lingkungannya pada saat itu. Namun, dapat saja kata-kata itu tentang dirinya sendiri dan bukan mengenai orang lain. Sama seperti seorang penulis nan menuangkan satu kisah tentang dirinya tetapi dengan pandainya ia menyembunyikan kisah itu dalam balutan kisah nan menarik sehingga tak ada nan mengira bahwa sebenarnya kisah itu mengenai penulisnya sendiri.

Chairil Anwar sangat pandai menggunakan kata-kata nan akan membuat orang lain meresa bahwa rangkaian kata-kata itu bukan tertuju pada dirinya sendiri. Kecuali buat beberapa puisi nan memang buat seseorang nan sedang digandrunginya. Chairil Anwar akan dengan lugas menggambarkannya. Bahkan ia menyebut nama wanita nan menjadi inspirasinya pada saat pembuatan puisi itu. Ternyata mungkin kalau mengenai cinta Chairil begitu gamblang. Namun mungkin tak menyangkut perasaannya nan lain.

Kalau cermat, para pengamat puisi akan tahu betapa kegalauan hidupnya telah membuat seorang Chairil Anwar menjadi begitu produktif. Ia sebenarnya menggambarkan dirinya dengan sangat jelas dalam puisi nan berjudul AKU. Ia mengungkapkan betapa hidupnya tak akan lama lagi. Ia ingin orang mengenangnya bagai seorang prajurit hebat nan berperang di medan laga. Ia tahu kalau ia merupakan satu pribadi nan keras nan tidak akab berubah. Ia hanya ingin diterima apa adanya. Ia sadar bahwa ia bukan manusia nan suci. Kegalauan Chairil Anwar benar-benar membuat karyanya semakin dahsyat.

Film Deru dan Debu

Jika dibaca sepintas lalu, jelas tidak akan ada kata dan juga bentuk fisik dari deru dan debu dalam puisi dan film tersebut. Terlebih dalam bentuk campurannya. Namun, pesan nan disampaikan secara tersirat sangat terang. Jika dilihat dalam tataran subjektif, artinya tergantung orang nan melihatnya dari sisi mana dan mampu menangkap pesan dan makna dari puisi maupun film nan dibuat.

Sebuah film nan mencoba mensintesa pesan nan terurai dan terangkai dalam bait-bait sarat kekuatan dan perjuangan Deru dan Debu coba buat ditampilkan dan dikemas kembali dalam alur visual-audio sehingga interpretasinya tidak berwarna. Maknanya mampu terwakilkan oleh setting dan alur cerita nan dirangkai oleh si sutradara. Sebuah penerjemahan pesan nan unik dan tidak mudah sebab menyerap pesan dan interpretasi dari puisinya saja memerlukan daya kontemplasi taraf tinggi.

Inilah salah satu karya nan mungkin terinspirasi dari satu karya artis lainnya. Memang tak salah membuat satu terjemahan kisah dalam bentuk lain. Bagaimanapun sebuah puisi nan unik itu memang dapat diterjemahkan dalam berbagai bentuk termasuk dalam alur sebuah film. Apalagi ketika sang pembuat puisi telah tiada. Tak ada nan mampu menjabarkan makna nan sebenarnya. Semuanya hanya sebatas estimasi nan semua orang mempunyai hak buat melakukan penafsiran.

Deru Campur Debu Itu!

Sungguh sulit menangkap setiap pesan dalam bait-bait Deru dan Debu. Kata-kata bak bersayap dapat terbang kesana kemari dan dilihat orang dari segala penjuru sehingga konklusinya menjadi sangat majemuk dan tidak tunggal. Berikut bunyi puisi Chairil Anwar Deru dan Debu itu:

Ia masih mau hayati seratus tahun lagi
Tapi raga memang rapuh
Lebih seperempat abad ia pegi
Hanya karya-karyanya nan ia masih tinggal
Dan juga,
Semangatnya nan garang menggelegak…

Chairil menjadikan tokoh primer dalam puisi tersebut begitu samar dan sulit ditebak sebab hanya ia—dan orang-orang nan disekelilingnya—yang tahu. Untuk mengetahui siapa “ia” jelas bukan pekerjaan mudah. Chairil tidak menyebutkan secara gamblang bagaimana karakteristik fisik, cara berbicara, dari keluarga mana, karya-karya seperti apa nan dimaksud. Satu angka seperempat abad, mungkin saja menunjukkan angka usianya sendiri. Perlu diketahui bahwa Chairil meninggal pada usia 27 tahun. Jadi, sangat mungkin bahwa angka itu memang mengacu ke usianya sendiri pada saat membuat puisi itu.

Namun, bagi nan teliti dapat menafsir bahwa nan dimaksudkan Chairil yakni seseorang nan sangat dikaguminya. Begitu menyentuhnya, dan karenanya ia “tergila-gila” karenanya nan termanifestasi dalam puisinya tersebut. Chairil merasa tersanjung sebab telah mengetahui dan (mungkin saja) berkenalan dengan sosok itu. Estimasi satu ini pun dapat saja sahih adanya. Mungkin saja angka itu menunjukkan usia orang nan dikaguminya dan bukan usianya sendiri.

Mungkin saja orang nan dimaksudnya itu ialah anak muda nan begitu gagah berani berjuang. Walau usianya masih muda, ia tetap konfiden dan tahu mau dibawa ke mana residu usianya. Ia tahu bahwa perjuangan membutuhkan arang nan harus selalu berganti dengan nan baru ketika telah habis dimakan oleh api. Semangat nan membuat orang lain nan ada di sekitarnya ikut juga berkobar. Pengaruh nan begitu hebat nan dipercikkan oleh seseorang nan lurus dalam melihat jalan hidupnya.

Tanpa satu keraguan sedikit pun, citra itu membuat diri dan jiwanya berselimutkan kobaran barah kehidupan nan akan tetap hayati walau raga telah lenyap hilang berkalang tanah. Raga nan kembali ke bumi itu akan habis. Jiwa nan berkobar itu tidak akan habis. Ia akan menjadi bagai dian nan tidak pernah kunjung padam. Ia akan menerangi sekelilinginya hingga terangnya membawa kehidupan nan dibutuhkan oleh mahluk sesudahnya.
Kita butuh semangat macam itu
Kejalangan, kadang harus ada
Dan memang ada, harus tetap ada

Agar tinju dapat tetap mengepal
Dan lengan dapat tetap teracung

Lengkap sudah bahwa kekaguman Chairil kepada sosok nan diceritakannya sampai-sampai ia berujar “kita butuh semangat macam itu”. Sayangnya, semangat seperti apa nan dimaksud kurang begitu dapat ditangkap dengan jelas. Dan maksud “kejalangan, kadang harus ada” yakni konduite radikal atau bahkan destruktif sekali-kali diperlukan buat menggapai maksud baik “kita”.

Memang benar, semangat harus tetap dijaga supaya kehidupan tidak kunjunjg layu dan menemukan nadir buat tidak lagi berkembang dan menoreh prestasi. Begitulah, puisi Chairil Anwar Deru Campur Debu nan sangat memesona. Satu kesatuan tuangan jiwa nan tetap ingin terus hayati dalam butiran debu nan saling mengikat sehingga membentuk badai nan kuat. Deru suara badai itu mengguncang global hingga semua orang menjadi sadar bahwa ada sesuatu nan harus diwaspadai namun tidak dapat dilenyapkan.



Tafsiran Lain

Mungkin citra debu nan menggumpal menjadi badai itu terlalu jauh dari apa nan ingin diungkapkan oleh seorang Chairil Anwar. Namun, sekali lagi bahwa tak ada nan salah ketika secara ilmiah debu nan membentuk badai menerbangkan semua nan dilaluinya hingga meninggalkan jejak-jejak kehancuran. Kehancuran nan akan diratapi sebagai satu kesedihan sebab kehilangan bentuk nan pernah disayangi.

Ketika sebelum debu nan manunggal bergerak menderu sebagai badai itu menghantam semua benda nan pendukung kehidupan, teriakan memohon mungkin juga akan terdengar. Tetapi, kehedak Yang Kuasa telah terjadi. Tak dapat menghentikan badai. Yang hanya dapat dilakukan ialah menghindari badai. Menjauh dari deru nan bergemuruh agar hayati tetap berada dalam raga. Saat ada kerusakan nan akan menghempas diri, berlari menyelamatkan diri ialah cara terbaik agar tetap dapat merasakan kehidupan selanjutnya.

Harta nan hilang ditelan oleh deru dalam debu itu tidak mungkin dapat diambil lagi. Tinggal berharap ada gantinya. Ganti nan akan berwujud dalam bentuk nan lebih baik seperti buah dari keikhlasan ketika kehilangan nan disayangi.