Suku Melayu di Kalimantan Barat

Suku Melayu di Kalimantan Barat

Kata orang, mengenal ciri suku orisinil di suatu daerah ialah syarat ketika kita hendak berdomisili di daerah tersebut supaya proses adapatasi mudah dilakukan. Yaitu mengerti bagaimana awal mulanya suku itu ada hingga kesamaan sifatnya (streotipe). Asumsi generik nan banyak terbukti kebenarannya itu, juga berlaku ketika kita memutuskan hayati di Kalimantan Barat .



Sekilas Tentang Kalimantan Barat

Sebagai salah satu dari sedikit provinsi di Indonesia nan berbatasan langsung dengan negara tetangga (Malaysia), Kalimantan Barat dikenal pula sebagai wilayah hijau. Maksudnya, hampir dua pertiga wilayahnya ditutupi oleh hutan tropis nan masih perawan. Bahkan, Kalimantan Barat dan wilayah Pulau Kalimantan pada umumnya merupakan paru-parunya dunia. Bersama-sama dengan hutan tropis di Brazil, Kalimantan ialah penyuplai oksigen terbesar bagi kehidupan manusia di muka bumi ini.

Selain itu, keanekaragaman hidup di Kalimantan Barat termasuk luar biasa beragam. Baik jenis flora maupun faunanya, banyak belum diketahui kegunaan atau teridentifikasi jenisnya. Termasuk juga barang tambang nan ada di bawah tanah bumi Borneo tersebut, khususnya barang tambang berupa logam mulia (emas). Bahkan, pertambangan emas di Kalimantan Barat sudah terkenal sejak pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa. Jadi, bisa dikatakan bahwa Kalimantan Barat bagaikan mutiara nan belum sepenuhnya diasah, atau permata nan kemilaunya belum bisa dinikmati sebab masih terpendam di dasar lautan.

Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam di Kalimantan Barat mengakibatkan taraf kemakmuran di wilayah tersebut, kalah jauh dengan wilayah negara tetangga, yaitu Malaysia. Walau hanya dibatasi oleh patok-patok penanda kedaulatan negara nan berbeda, namun kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kedua wilayah sangat paradoksal terlihat.

Kenyataan ini bisa segera terpahami ketika mengamati kehidupan sehari-hari masyarakat di kota perbatasan Indonesia, yakni Entikong (kota di Kalimantan Barat), nan berbatasan langsung dengan Kucing (kota di wilayah Sabah, Malaysia). Taraf kehidupan masyarakat di Kota Kucing lebih sejahtera dibanding masyarakat di Kota Entikong.

Realita lain nan menunjukkan belum optimalnya sumber daya alam di Kalimantan Barat dikelola, tampak dari maraknya kasus ilegal logging. Begitu pula dengan kasus pencurian keanekaragaman hidup (jenis tumbuhan maupun hewan) di hutan tropis Kalimantan Barat. Barang-barang itu diselundupkan ke luar negeri (umumnya Malaysia) melalui jalur sungai atau lautan. Terbatasnya jumlah aparat keamanan mengakibatkan hingga sekarang berbagai tindakan ilegal nan sangat merugikan negara itu masih sering terjadi.

Lalu, bagaimana dengan sosial budaya masyarakat di Provinsi Kalimantan Barat? Kita bisa menelaah dan memahaminya dimulai dari mengenal bagaimana kesamaan sifat dari suku-suku orisinil di wilayah tersebut. Tentu saja pemahaman akan hal ini harus didasarkan sumber-sumber valid dan terpercaya. Jadi, segala bentuk stereotif atau berpretensi sosial nan bermuatan negatif, bisa diminimalisir.

Dari beberapa surat keterangan kependudukan, menyebutkan setidaknya ada dua suku orisinil penghuni wilayah Kalimantan Barat. Disebut sebagai suku orisinil sebab berabad-abad sebelum Indonesia merdeka, dua suku itu sudah mendiami kawasan pantai (pesisir) maupun hutan (pedalaman) di Kalimantan Barat. Membangun suatu komunitas masyarakat nan diikat oleh berbagi tradisi dan adat istiadat. Kedua suku orisinil itu ialah Suku Dayak dan Melayu.



Suku Dayak di Kalimantan Barat

Suku Dayak identik dengan Pulau Kalimantan. Untuk di Kalimantan Barat , Dayak mendiami kawasan hulu Sungai Kapuas dan hulu sungai-sungai lainnya. Kawasan nan masih didominasi oleh kehidupan alam liar hutan Kalimantan (pedalaman). Karenanya, jika kita berkesempatan mengunjungi kawasan pedalaman, mayoritas masyarakat nan akan kita temui ialah masyarakat dari Suku Dayak.

Kira-kira apa nan membuat Suku Dayak di Kalimantan Barat pada khususnya dan Pulau Kalimantan pada umumnya mendiami kawasan pedalaman? Apakah memang sebab budaya Dayak merupakan budaya nan akomodatif terhadap budaya tradisional di hutan-hutan Kalimantan? Atau sebab pengaruh kedatangan suku lain sehingga terjadinya migrasi (perpindahan) dari Suku Dayak?

Bila merunut dari beberapa surat keterangan sejarah cikal bakal masyarakat Suku Dayak, maka jawabannya dikarenakan pengaruh kehadiran suku lain atau kekuasaan dari luar nan ‘memaksa’ masyarakat Suku Dayak buat berpindah tempat. Awalnya, Suku Dayak mendiami kawasan pesisir pantai atau hilir (kawasan sekitar muara sungai), yaitu tepatnya pada sekitar tahun 3000 - 1500 SM. Saat itu, terjadi perpindahan penduduk Yunan di Cina Selatan ke wilayah nusantara. Salah satu wilayah nusantara nan dilewati dan kemudian menjadi loka bermukim ialah Pulau Kalimantan (Kalimantan Barat).

Pada masa tersebut, Pulau Kalimantan masih menyatu dengan Benua Asia. Direkatkan oleh daratan dan barisan pegunungan nan sekarang ini dikenal dengan nama Pegunungan Muller-Schwaner. Para nenek moyang Suku Dayak melintasi pegunungan Muller-Schwaner, mengikuti genre sungai nan mengarah ke kawasan pesisir Kalimantan Barat atau kawasan Pulau Kalimantan lainnya. Di sini, mereka pun membangun peradaban dalam bentuk kerajaan. Proses semenjak kedatangan pertama nenek moyang Suku Dayak hingga membangun kerajaan di pesisir pulau Kalimantan, berlangsung lama mencapai puluhan abad.

Hanya saja, jejak sejarah dari kerajaan Suku Dayak tersebut tak bisa diketahui pasti. Satu-satunya sumber nan mengatakan bahwa pernah ada kerajaan, berasal dari tradisi lisan. Yakni cerita mengenai ‘Nansarunai Usak Jawa’, artinya ialah sebuah kerajaan bernama Dayak Nansarunai nan dihancurkan oleh Majapahit, diperkirakan sekitar 1300-an Masehi. Akibatnya, masyarakat Suku Dayak terpencar ke mana-mana. Sebagian dari mereka memilih mendiami kawasan pedalaman atau hutan di Kalimantan Barat.

Kemudian, semakin banyak Suku Dayak nan memilih menetap di kawasan hulu sungai sebab pengaruh munculnya kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Kalimantan Barat pada awal abad ke-17 Masehi. Kerajaan-kerajaan ini dibangun oleh suku Melayu nan saat itu dianggap sebagai ‘suku pendatang’. Kerajaan-kerajaan bercorak agama Islam ini kemudian menyebarkan pengaruh politis maupun budayanya. Dimulai dari kota-kota besar di Kalimantan Barat, seperti Pontianak, Mempawah, Sambas, Sanggau, dan Sintang nan menjadi pusat kerajaan Islam, kemudian meluas sepanjang pantai dan wilayah sekitar sungai di Kalimantan Barat. Akibatnya, banyak dari Suku Dayak nan memeluk agama Islam dan kemudian menganggap mereka bukan lagi sebagai Suku Dayak.

Adapun nan menolak pengaruh Islam, tetap memegang teguh tradisi nenek moyang atau dikenal dengan istilah animisme dan dinamisme. Mereka nan keukeuh dengan tradisi animisme dan dinamisme itu pun memutuskan berdiam di kawasan pedalaman hutan Kalimantan Barat.
Lalu, bagaimana ciri dari Suku Dayak di Kalimantan Barat? Umumnya, Dayak dikenal sebagai suku nan memegang janji, ramah dan bersikap welcome terhadap orang luar, serta cinta damai. Namun, semua sifat baik tersebut bisa berubah 180 derajat jika harga diri dan kehormatannya terusik. Memang mereka bukanlah suku pemarah dan pendendam, tapi jika sudah menyangkut masalah kehormatan dan harga diri, Suku Dayak bisa bertindak tidak beradab dan sukar mengontrol emosinya. Ini ialah streotipe dari Suku Dayak.



Suku Melayu di Kalimantan Barat

Meskipun suku Melayu kehadirannya tak setua Suku Dayak, namun beberapa kalangan menganggap suku nan identik menganut agama Islam itu sebagai salah satu suku orisinil di Kalimantan Barat. Mengapa? Karena selain jumlah mereka saat ini merupakan terbesar di Kalimantan Barat, suku Melayu juga punya peran penting. Yakni memberikan kontribusi peradaban atau tatanan masyarakat di Kalimantan Barat. Pembangun pilar-pilar kehidupan masyarakat nan berbudaya tinggi.

Karenanya, jika kini kita mengunjungi atau memutuskan berdiam di Kalimantan Barat, dominan kebudayaan nan akan kita rasakan ialah kebudayaan dari suku Melayu. Baik itu dari segi bahasa nan digunakan (bahasa Melayu), tradisi atau adat istiadat, hingga pola pikir mayoritas masyarakatnya nan dominan diwarnai oleh nilai-nilai Islam.

Untuk itu, suku Melayu di Kalimantan Barat memiliki streotipe masyarakat nan religius, ramah dan mudah bersahabat dengan orang asing, sabar dan tak mudah terpancing emosinya. Ada pun stereotipe atau ciri negatifnya, Melayu dianggap suku nan pasif, sulit melakukan perubahan atau kemajuan, dan mudah dipengaruhi atau menuruti kemauan orang lain.