Hakikat Ibadah - Bertanya Kepada Diri Sendiri

Hakikat Ibadah - Bertanya Kepada Diri Sendiri

Untuk apa Allah menciptakan manusia? Jika dijawab menggunakan ayat al-Qur’an “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali buat menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56), maka tugas manusia hayati di global dalah beribadah. Ya, hakikat hayati manusia ialah hakikat ibadah kepada Allah Swt. Mestinya, setiap waktu nan dilalui tidak lepas dari ibadah kepada Allah Swt.

Makanya, setiap detik dari hari-hari nan dijalani harusnya tidak memiliki banyak arti. Tak ada perasaan nan menunjukkan bosan dengan kehidupan nan dilalui. Tak ada kehidupan nan datar-datar saja. Yana mesti terjadi adalah, kehidupan nan dilalui harus penuh dengan arti. Semuanya sangat dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadap kehidupan. Kehidupan di global ini hanya buat bersyukur kepada Allah. Syukur ialah hakikat ibadah sesungguhnya.



Jadikan Hakikat Ibadah Sebagai Fondasi Hidup

Jika kita memandang hayati sebagai ajang penderitaan, akan menderitalah hayati nan kita jalani. Jelas, kita pun menjadi manusia nan kufur akan nikmat Allah. Jika kita memandang hayati penuh tantangan, akan penuh dinamika pula hayati kita. Ini artinya, kita tengah berjuang buat menjadi manusia nan selalu berusaha menanamkan rasa syukur kepada Allah. Termin ini sudah mulai memasuki lingkup hakikat ibadah.

Jika kita memandang hayati sebagai karunia Tuhan nan layak buat disyukuri setiap dimensinya, akan penuh kebahagiaan pula hayati kita. Ini sudah masuk pada pribadi nan syukur kepada Allah dan zuhud terhadap karunia nan diberikan Allah. Jika sudah berada pada tahapan ini, maka kita sudah benar-benar menyelami hakikat ibadah di dalam kehidupan nan dilalui

Semuanya, sekali lagi, terjadi sebab cara kita dalam memandang kehidupan. Menderita tak menderita, sengsara atau bahagia, ada dalam benak dan terproyeksikan dalam persepsi kita. Karena itu, munculkan persepsi hakikat ibadah dalam setiap aktivitas kita. Artinya, Tak ada aktivitas nan dilalui kecuali beribadah kepada Allah Swt.



Cerita Seorang Bapak Tentang Hakikat Ibadah

Ada seorang bapak nan memandang hayati sebagai wahana buat berkhidmat kepada Tuhan dan sesamanya. ” Hakikat ibadah ialah berkhidmat kepada Allah dengan tulus dan getol memasukkan rasa senang ke dalam hati sesama,” demikian ujarnya.

Itulah mengapa dia senantiasa mentekadkan setiap mobilitas langkahnya sebagai upaya buat mengabdi kepada Allah dengan cara berkhidmat kepada sesama. Dia memiliki ilmu nan luas. Dengan ilmunya itu dia mengajar banyak orang tentang kebaikan.

Dia sangat ingin bahwa ilmu nan dimilikinya itu bisa pula menjadi sumber cahaya bagi orang lain. Kenikmatannya ialah ketika belajar, mengajar, membaca buku, bertafakur, dan merumuskan konsep-konsep keilmuan nan kelak bisa dipergunakan buat memajukan umat.

Di luar itu semua, ada momen-momen spesial dalam hidupnya nan berusaha buat tak dia lewatkan begitu saja. Momen itu terjadi tatkala dia ada di pembaringan, menjelang dia menutup mata dan terlelap dalam tidur. Kala itu, untaian doa senantiasa terucap dari lisannya. Ada lantunan Al-Fatihah nan senantiasa dia hadiahkan kepada orang-orang nan spesial dalam hatinya.

Pertama kali ia akan menghadiahkan Al-Fatihah dan shalawat kepada Rasulullah SAW, manusia nan teramat dicintainya, kemudian kepada keluarganya, para sahabatnya nan saleh, para shiddiqin, syuhada, dan para shalihin, buat kemudian kepada orangtua, guru-guru, keluarganya, dan kaum kerabat serta tetangganya.

Terkadang, belum sempat menyebutkan semuanya, ia telah tertidur. Namun, itu bukan masalah baginya, karena ia sangat konfiden terhadap janji Nabi Muhammad SAW bahwa siapa pun nan sebelum tidurnya berzikir dan berdoa kepada Allah, pasti tidurnya akan dicatat sebagai zikir dan ibadah, walau ia tak sempat menyelesaikan zikirnya itu.

Dia pun mempercayai bahwa siapa saja nan mendoakan kebaikan bagi saudaranya, para malaikat pun akan mendoakan dirinya sebanding -atau bahkan lebih- dari doa nan dipanjatkannya.

Doa seorang Muslim buat saudaranya nan dilakukan tanpa sepengetahuan orang nan didoakannya ialah doa nan akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat nan menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa buat saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘amin dan engkau pun mendapatkan apa nan ia dapatkan ’.” Inilah janji Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih -nya.



Hakikat Ibadah - Bertanya Kepada Diri Sendiri

Ada pertanyaan nan menggelitik hati, mengapa ada orang nan masih mau mendoakan kebaikan bagi orang lain ketika sebagian orang lainnya memperlakukan saudaranya dengan tak semestinya? Atau, andaikan dia berdoa, doanya tersebut hanya buat dirinya semata? Ada banyak jawaban buat pertanyaan ini.

Akan tetapi, kita layak menyimak sebuah ayat Al-Quran nan sangat inspiratif. Allah Swt. berfirman, “ (Allah-lah) nan menjadikan wafat dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu nan lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun .” (QS Al-Mulk, [67]:2).

Ayat nan mulia ini menyiratkan bahwa hayati pada hakikatnya ialah ujian buat mengetahui siapa nan paling baik amalnya. Jadi, menurut Al-Quran, orang nan paling bahagia, paling sukses, paling beruntung, dan paling dekat dengan Allah, ialah orang-orang nan paling ikhlas dan paling giat dalam beramal saleh. Seperti inilah jika hakikat Ibadah sudah ada di dalam setiap aktivitas.

Salah satu karakter dari orang-orang seperti ini ialah kegemarannya dalam berkhidmat kepada Allah dan kepada sesamanya. Boleh jadi, Bapak dalam kisah di atas termasuk salah seorang di antaranya, atau setidaknya tengah berproses menjadi pribadi nan memiliki amal-amal terbaik.



Hakikat Ibadah - Tafsir Singkat Ayat Kedua Surat Al-Mulk

Merasa penting, bila ayat kedua surat al-Mulk dikaji secara sederhana buat mendekatkan diri kita kepada hakikat ibadah nan mesti muncul dalam setiap aktivitas kita. Karena kata al-Mulk sendiri memiliki arti raja dan memiliki. Tak ada nan memiliki dan merajai hayati kita, kecuali Allah Swt. Allah nan memberi kita udara sehingga dapat bernafas.

Di dalam ayat tersebut Allah Swt menyebutkan kata “al-Maut” dan “al-Hayah”. Kedua kata ini setiap hari kita temui. Kok dapat dikatakan demikian? Ya, kata maut nan berarti wafat ialah hal nan setiap hari kita temui. Mati ialah dari nan awalnya ada menjadi tak ada. Sedangkan hayah nan artinya hayati dari tak ada menjadi ada.

Setiap hari kita menemui wafat dan hidup. Contoh gampangnya, saat ini Anda sedang ‘hidup’ membaca artikel ini. Beberapa menit lagi Anda akan ‘mati’ meninggalkan artikel ini. Artinya, hayati Anda ketika membaca artikel ini dan wafat Anda ketika meninggalkannya. Oleh sebab itu, kita harus ingat tugas saat hayati dan mati. Apa itu? Allah menguji kita buat berbuat “ahsan ‘amal” (sebaik-baik amal). Di sinilah letak hakikat ibadah Anda ketika membaca artikel ini.

Agar hakikat ibadah dapat tercapai, Anda mesti mengambil kegunaan dari artikel ini. Anda mesti membacanya dengan baik-baik dan merenungkan klarifikasi artikel ini. Bahwa segala nan dialami di dalam kehidupan ini ialah ibadah kepada Allah. Maka membaca artikel ini dapat dijadikan ibadah, caranya dengan membaca basmalah sebelum membaca.

Selain itu, ‘Ahsan amal’ dari artikel ini juga dapat Anda dapatkan. Caranya, dengan cara mempelajari bagaimana menulis artikel nan baik. Artikel nan mengalir dan bisa dengan mudah dipahami oleh pembaca. Ini arti hayati dalam bingkai hakikat ibadah saat membaca artikel ini.

Setelah Anda selesai membaca artikel ini, lalu Anda meninggalkannya, maka itulah nan dinamakan ‘mati’. Awalnya Anda bersama artikel ini, namun kemudian Anda meninggalkannya. Saat meninggalkannya, Anda mesti dapat melalukan ‘ahsan amal’ juga. Caranya, setiap kali melakukan aktivitas ingat bahwa Anda sedang beribadah kepada Allah. Awali aktivitas Anda dengan doa kepada Allah. Lakukan apa nan diajarkan melalui artikel ini. Cobalah buat menulis dengan cara sederhana dan mudah dinikmati pembaca dan lain-lain.

Intinya, jika Anda dapat melakukannya, Anda mesti memuji Allah, sebab Dia nan memberikan keizinan untuk Anda buat dapat melakukan setiap aktivitas bermakna ibadah. Jika Anda gagal menerapkan sifat syukur atau lupa dengan Allah hingga belum mampu meraih “ahsan amal”, maka Anda layak beristighfar kepada-Nya. Inilah makna potongan ayat kedua dari surat al-Kahfi, “Wahuwal ‘Azizul Ghafur” (Dialah nan Maha Kuasa lagi Maha Pengampun)

Inilah kajian singkat tentang hakikat ibadah nan mampu meraih hayati bermakna dengan amal utama, yaitu bersyukur dalam setiap aktivitas nan diawali dengan berdoa kepada Allah. Jadikan apa pun nan dilakukan semuanya sebab Allah Swt.