Memahami Filosofi Keraton Jogjakarta

Memahami Filosofi Keraton Jogjakarta

Keraton Jogjakarta terletak di pusat Kota Jogjakarta atau penduduk setempat hanya menyebutnya dengan nama Jogja. Keraton, Karaton, dan Kedaton memiliki arti nan sama yaitu sebuah loka Raja dan Ratu tinggal. Di dalam pedagogi orang Jawa, keraton memiliki makna filosofi nan sangat dalam.

Arsitek nan merancang Keraton Jogjakarta ialah Sultan Hamengkubuwono sendiri nan sekaligus juga sebagai pendiri Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kemampuan arsitektur beliau diapresiasi oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda yaitu DR. Pigeund dan DR. Adam nan memuji beliau sebagai “arsitek saudaranya – Pakubuwono II Surakarta.”

Raja pertama hijrah ke Keraton Jogjakarta nan besar dan megah pada 7 Oktober 1756. Meskipun terdapat beberapa gaya Eropa pada beberapa bagian Keraton Jogjakarta tersebut, secara struktur mencerminkan contoh konkret dari sebuah arsitek kerajaan Jawa.

Keraton Jogjakarta memiliki luas kurang lebih 14.000 meter persegi ini memiliki arti filosofis di dalam setiap struktur bangunan, lapangan, pahatan, pepohonan, dan letaknya. Keraton Jogjakarta penuh dengan simbol-simbol krusial kehidupan manusia.



Memahami Filosofi Keraton Jogjakarta

Para pengunjung atau wisatawan biasanya datang dari Jalan Malioboro, sebelah selatan melalui Alun-alun (lapangan utara). Untuk memahami dengan baik arti simbolik dari Keraton Jogjakarta, Anda harus berjalan dari selatan ke utara. Diawali dari Krapyak, sebuah desa nan berjarak kira-kira 3 kilometer selatan keraton.

Di masa lalu, Krapyak merupakan anjung nan terdiri atas tumpukan batu bata, nan digunakan oleh sultan dan keluarganya buat menyaksikan keluarga dan tentaranya berburu rusa. Krapyak terletak berdekatan dengan desa kecil yaitu Mijen (berasal dari kata ‘wiji’ nan berarti benih, melambangkan kehidupan, jiwa dari umat manusia).

Berjalan ke utara, melalui jalan lurus nan di sisi kanan dan kirinya tumbuh pohon asem nan menjadi sengsem (manis) dan tanjung menjadi disanjung (peduli atau perhatian). Hal ini melambangkan kehidupan anak-anak dalam jalan nan baik: dipuja dan diperhatikan oleh orang tuanya.

Sampai di pintu masuk primer (Plengkung) gading melambangkan anak nan telah menjadi remaja, manis dengan dandanan nan rapi.

Di lapangan selatan (Alun-alun) di bagian selatan terdapat dua pohon waringin (beringin). Nama dari pohon ini merupakan singkatan WOK dari kata BEWOK nan artinya janggut. Di tengah-tengah alun-alun selatan ini, terdapat dua pohon waringin lainnya dengan nama Supit Urang artinya sumpit udang, dikelilingi oleh oleh pagar dalam bentuk busur pemanah, nan melambangkan bagian kudus dari tubuh manusia . Sehingga harus dilindungi (di dalam pagar).

Bentuk pagar busur merupakan ciri seorang gadis dan anak laki-laki.

Perhatikan alun-alun selatan, terdapat lima jalan masuk ke alun-alun, menggambarkan lima indera manusia. Alun-alun ini ditutupi oleh pasir, nan berarti bahwa kehidupan manusia belum diatur. Pohon lainnya tumbuh di sana yaitu kweni menjadi wani (berani) dan pakel (dewasa), berati anak-anak berubah menjadi dewasa nan berani buat memilih pasangannya.

Lebih jauh di utara, terdapat Siti Hinggil (tanah ditinggikan), nan dikelilingi oleh tanaman gayam, melambangkan anak-anak merasakan cinta, kondusif dan bahagia. Di bagian tengah Siti Hinggil (beranda terbuka besar), terdapat Selo Gilang (sebuah lapangan batu ditinggikan). Selo Gilang merupakan loka sultan duduk ketika menerima kunjungan dari kerabat atau bawahannya. Dalam hal ini, menggambarkan kursi pernikahan pasangan muda duduk berdampingan.

Pohon nan ditanam di sini adalah:

  1. Mangga Cempora, mangga ialah bahasa Jawa buat tolong dan cempora menjelaskan campuran.
  1. Soka, membayangkan kesenangan.

Kedua pohon ini memiliki banyak rona merah dan putih (melambangkan sperma wanita dan laki-laki). Simbol-simbol ini dari simbol pernikahan pasangan muda desawa, dalam suasana nan aman, menyenangkan dan dicintai, mereka harus bercinta buat menghasilkan manusia (anak).

Di sebelah kanan dan kiri Siti Hinggil ialah kamar mandi. Siti Hinggil dikelilingi oleh jalan bernama Pamengkang, menunjukkan posisi ketika seseorang duduk atau berbaring dengan kaki terpisah.

Pergi lebih jauh ke utara, terdapat sebuah lapangan beraman Kemandungan, berasal dari kata kandung (hamil). Terdapat empat pohon nan ditanam di sini yaitu:

  1. Pelem menjadi gelem, yaitu keinginan berasal dari kedua sisi.
  2. Kepel menjadi kempel, manunggal secara mental dan fisik.
  3. Jambu Dersono, desono menjelaskan dicintai oleh orang lain.
  4. Cengkir Gading, ialah pohon kelapa kecil kekuningan. Kelapa digunakan dalam upacara ketika kandungan seorang ibu berusia tujuh bulan.

Di bagian sisi kanan dan kiri lapangan ini, terdapat jalan nan bertujuan buat pergi keluar, ini membayangkan pengaruh negatif nan mungkin terjadi selama pertumbuhan bayi dalam rahim ibunya.

Sekarang, lewati Regol (gerbang) Gadungmlati, tiba di Kamagangan. Jalan sempit di awal dan kemudian menjadi lebih lebar dan lebih terang. Ini artinya bayi lahir selamat, tumbuh buat menjadi laki-laki nan menghadapi kehidupan masa depannya.

Terdapat dapur di bagian ini, bernama gebulen dan sekullangen, menjelaskan bahwa buat pertumbuhan anak tersedia banyak makanan. Jalan di sisi kanan dan kiri dapur mencerminkan faktor-faktor negatif nan dapat memengaruhi kehidupan anak.

Anak harus dididik dengan benar, ke jalan nan benar, ke utara, ke Karaton, loka Sultan tinggal buat melakukan pekerjaannya. Di Karaton, ia dapat mencapai tujuan hidupnya, sebab ia harus bekerja dengan tekun, dengan baik dan cara nan benar, setia buat tak melanggar aturan. Dia juga harus selalu ingat dan melayani Tuhan Yang Maha Esa.

Di Karaton, kita harus mengikuti langkah-langkah nan diambil oleh Sultan atau Sri Sultan sebelum dan sesudah upacara Grebeg di utara Siti Hinggil.

Sri Sultan melangkah keluar dari gerbang Sri Manganti, menuju bangsal Ponciniti, ponco artinya empat indera; niti artinya memeriksa. Pekarangan ini disebut Kamandungan (mengumpulkan), ditanami dengan pohon Tanjung, Kepel (bersatu), Cengkir Gading – kelapa kuning (warna kudus Tuhan Yang Maha Esa).

Ini artinya bahwa Sri Sultan harus berkonsentrasi pada lima panca indera dan pikirannya sebab beliau akan beribadah pada Tuhan Yang Maha Esa.

Beliau memasuki gerbang (Regol) Brojonolo ( brojo berarti senjata, nala berati hati) dan melihat dinding batu. “Renteng mentog baturana” (renteng artinya khawatir, baturana artinya batu pembagi) nan menjelaskan bahwa Sri Sultan seharusnya tak usah risi menerapkan pemerintahan nan adil.

Di sana terdapat pohon – Jambu Tlampok Arum (Arum berarti harum), artinya “Berbicaralah selalu baik, sehingga namamu akan terkenal ke seluruh dunia.”

Sri Sultan sekarang berada di utara Siti Hinggil, di selatan, empat pohon kemuning (ning – jelas), kemudian beliau melangkah ke bangsa Witono (kursi di surga) nan juga dapat berarti awal/mulai. Hal ini menggambarkan “bersihkan pikiranmu dan mulailah berdoa.”

Tempat harus diatur oleh dua bawahan dengan nama Wignya (pintar) dan Derma (takdir), melambangkan “Anda harus pintar buat duduk di tahta Anda pada saat ditakdirkan buat mewakili Tuhan Yang Maha Kuasa buat memerintah orang-orang/rakyat Anda.”

Bangsal (aula) Manguntur Tangkil: sebuah loka tinggi buat bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bangsal Manguntur Tangkil terletak di dalam Bangsal Witono ini menjelaskan bahwa di dalam tubuh, terdapat jiwa atau semangat hidup.

sRI Sultan siap buat meditasi (semedi) gamelan (instrumen musik Jawa) dengan nama Kyai Monggang dimainkan perlahan dan berirama mengikuti napasnya dalam meditasi. Meditator harus mengatur pernapasannya dan berkonsentrasi sungguh-sungguh dengan menutup sembilan lubang tubuhnya.

Di depan Siti Hinggil, terdapat Tarub Ageng (besar, kemuliaan) dan pagelaran, di hari tua itu ialah loka buat Patih (kepala menteri raja) dan bawahan lainnya buat menunggu sebelum berjumpa Sri Sultan buat pertemuan. Gelar di sini berarti terang. Hal tersebut menjelaskan bahwa siapa saja nan bermeditasi, mempertemukan hidupnya secara penuh ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa dalam jalan terang dan besar, sebagai hadiah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Alun-alun (lapangan Utara) dengan dua pohon waringin ialah sebuah perbandingan dengan pengalaman seseorang dalam semedi. Dia merasakan tenang dan bahagia, seolah-olah mereka kembar.

Pergi lebih jauh ke utara, yaitu:

  1. Pasar Beringharjo: melambangkan godaan dan kendala selama semedi, di pasar terdapat banyak makanan enak, barang-barang mewah, wanita cantik dan pria tampan.
  1. Kepatihan: ialah kantor patih, kepala petugas sultan. Ini ialah loka kekuasaan dijalankan. Pangkat, promosi pegawai diputuskan dan pengaturan keuangan.
  1. Tugu: Pilar, melambangkan penerimaan semedi. Jika meditator dapat mencapai tugu dengan selamat, dia mampu menolak godaan keinginan global biasa dan nafsu. Seperti kekayaan materi, posisi tinggi, makanan dan minuman lezat, nafsu terhadap versus jenis dan dia selalu melakukan pemikiran nan baik dan sahih dalam perilakunya.
  1. Dengan ijin Tuhan Yang Maha Esa, meditator mampu mencapai tujuannya dalam semedi, dalam istilah bahasa Jawa disebutkan: dalam sebuah posisi “Manunggaling kawulo Gusti,” manunggal artinya bersatu, kawulo artinya melayani umat manusia, Gusti artinya Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga Manunggaling Kawulo Gusti artinya “Kesatuan spiritual manusia dan Tuhan, makhluk dan pencipta.” Semua dapat terjadi atas izin Tuhan Yang Maha Agung.

Sekarang Sri Sultan sedang menuju kembali ke istana, melalui halaman Kemandungan. Ada beberapa Pohon Keben (penutup) tumbuh, berarti tutup mata dan telinga, Anda harus siap buat wafat (ke global lain).

Beliau disambut oleh istri dan anak-anaknya, dan dua menteri muda di Aula Sri Manganti, menawarkan minuman. Hal ini menggambarkan dua malaikat nan siap buat menunjukkan jalan nan sinkron dengan Al-Quran.

Bangsal Trajumas nan berdiri di depan Sri Manganti, berarti “Anda harus tahu apa nan sahih dan salah. Jangan berpikir lagi dari apa pun di global ini, istri dan keluarga Anda, Anda akan meninggalkannya.”

Di selatan, terdapat bangunan bernama Purworetno nan artinya “Kita harus selalu ingat darimana kita berasal.”

Beliau melewati Gerbang Donopratopo, artinya “Orang baik selaku memberi sesuatu kepada orang lain dengan sukarela dan dia mampu buat menghapus nafsu.”

Dua patung raksasa, satu memiliki konduite baik, nan kedua ialah raksasa jahat. Menampilkan “ Anda harus bisa membedakan, Tuhan dan Setan.”
Sri Sultan pergi ke Bangsa Kencono (Paviliun Emas), menjelaskan kesatuan umat manusia dan Tuhan.

Kemudian, beliau memasuki paviliun Praba Yeksa. Praba artinya cahaya, terang. Yeksa artinya besar. Di paviliun besar ini terdapat sebuah lampu nan selalu terbakar. Berdasarkan pada kepercayaan kuno, perjalanan ke kehidupan abadi ialah mengikuti cahaya. Setelah Prabayekso ialah gedong kuning, menyimbolkan rumah dari jiwa nan damai di surga.

Penjelasan-penjelasan di atas merupakan makna-makna filosofis dari setiap sisi Keraton Jogjakarta nan sangat sarat makna kehidupan manusia dan hubunganya dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan pemahaman akan makna simbolis ini diharapkan bahwa manusia itu hayati buat mengabdi, mengabdi kepada sesama dan nan terutama mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta makhluk dan alam semesta . Selain itu, pemahaman mengenai simbol-simbol ini juga akan semakin menyadarkan kita bahwa setiap langkah manusia harus selalu berpijak pada cara-cara nan sahih dan harus dapat menjauhkan diri dari berbagai sifat tercela.