Kepindahan Kerajaan Mataram Kuno

Kepindahan Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Antik ialah salah satu kerajaan jaman Hindu nan banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti nan ditemukan. Kerajaan ini pada awalnya berdiri di wilayah Jawa Tengah nan juga dikenal sebagai kerajaan Medang.

Kerajaan mataram antik atau mataram dengan agama hindu merupakan kerajaan hindu nan pernah berjaya dengan dua dinasti. Dinasti nan pernah berjaya memimpin mataram antik ialah Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Kerajaan mataram antik berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan.

Kerajaan Mataram Antik berdiri pada abad 8. Namun, sejak abad 10 kerajaan ini mengalihkan pusat kekuasaannya di Jawa Timur. Saat di Jawa Tengah, pusat kekuasaan berada di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Hal ini didasarkan pada inovasi prasati Minto dan Prasasti Anjuk Ladang.

Dalam Prasasti Mantyasih pada tahun 907 disebutkan bahwa raja pertama kerajaan Mataram Antik atau kerajaan Medang ialah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Raja ini mengeluarkan prasasti Canggal pada tahun 732. dalam prasasti tersebut tak disebutkan dengan jelas nama kerajaan nan diperintahnya.

Dalam periode Jawa Tengah, ada 12 Raja nan memerintah kerajaan Mataram Kuno. Raja pertama ialah Sanjaya nan sekaligus pendiri kerajaan Medang. Selanjutnya digantikan oleh Rakai Panangkaran nan merupakan awal kekuasaan wangsa Syailendra nan mendirikan Candi Borobudur.

Berikutnya ialah Rakai Panunggalan alias Dharanindra, Rakai Warak alias Samaragrawira, Rakai Garung alias Samaratungga. Samaratungga digantikan oleh Rakai Pikatan nan merupakan awal kebangkitan wangsa Sanjaya, Rakai Kayuwangi alias Dyah Pitaloka, Rakai Watuhumalang, Rakai Watukura, Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong dan Rakai Sumba Dyah Wawa.

Sedangkan periode kerajaan Mataram Antik di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok nan kemudian digantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya ialah Makuthawangsawardhana. Dan terakhir ialah Dharmawangsa Teguh sebagai epilog di kerajaan Mataram Antik atau kerajaan Medang ini.



Nama Kerajaan Mataram Kuno

Secara umum, nama Kerajaan Medang merupakan penyebutan buat kerajaan mataram hanya pada masa kerajaan mataram waktu berpusat di Jawat Timur. Namun penyebutan tersebut tak sahih secara hirtorisnya.

Hal tersebut didasarkan pada adanya penemuan-penemua prasasti nan berisikan tentang Kerajaan Mataram. Dalam beberapa bukti prasasti tersebut diungkapkan bahwa penggunaan nama Kerajaan Medang sudah digunakan sejak Kerajaan Mataram ada di Jawa Tengah sebelum pindah ke Jawa Timur.

Jadi penggunaan istilah Kerajaan Medang nan mengalami penyempitan makna hanya pada Kerajaan Mataram nan ada di Jawa Timur ialah hal nan keliru. Dan hal tersebut haruslah dibenarkan supaya tak terjadi pengkaburan sejarah oleh penggunaan istilah nan tak tepat.

Penggunaan nama Kerajaan Medang buat periode nan berkuasa di Jawa Tengah biasa dikenal dengan sebutan Kerajaan Mataram. Hal tersebut berdasarkan pada daerah nan dijadikan ibu kota oleh Kerajaan Mataram.

Penggunaan istilah Kerajaan Medang juga biasanya digunakan buat membedakan Kerajaan Mataram Islam nan Berjaya pada abada ke-16. Kerajaan Medang nan merupakan Kerajaan Mataram nan masih berada di Jawa Tengah juga disebut dengan Kerajaan Mataram Antik atau Kerajaan Mataram Hindu sebagai pembeda dengan Kerajaan Mataram Islam.



Kerajaan Mataram Antik - Pusat Kerajaan Medang

Secara generik menurut para pakar sejarah menyatakan bahwa Kerajaan Mataram Antik pernah dipimpin oleh tiga dinasti nan pernah berkuasa pada waktu itu. Ketiga dinasti tersebut ialah Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra merupakan dua dinasti dari Kerajaan Mataram Antik nan masih berpusat di Jawa tengah, sedangkan Wangsa Isnaya merupakan Kerajaan Maratam Antik nan sudah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.



a. Wangsa Sanjaya

Penggunaan nama Wangsa Sanjaya didasarkan pada nama dari raja pertama Kerajaan Medang. Nama dari raja tersebut ialah Sanjaya. Raja Kerajaan Medang ini menganut agama hindu nan menyembah kepada Dewa Siwa atau nan lebih dikenal dengan Hindu genre Siwa.

Sebagaimana kerajaan lainnya pada umumny bahwa akan ada masa pergantian kedudukan. Hal tersebut juga berlaku pada Kerajaan Medang pada masa Wangsa Sanjaya. Dalam sebuah kajian teori nan dikemukan oleh van Naerssen mengatakan bahwa keruntuhan dinasti Sanjaya ialah pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran nan merupakan pengganti dari raja Sanjaya tepatnya pada tahun 770-an.



b. Wangsa Sailendra

Dinasti Sanjaya kemudian digantikan oleh Dinasti Syailendra nan sukses merebut kekuasaan dari Rakai Panangkaran. Raja Syailendra merupakan seorang penganut agama Budha Mahayana. Sejak saat itu Wangsa Syailendra memimpin di Pulau Jawa.

Tidak hanya memimpin Pulau jawa saja, namun juga mampu menaklukan Kerajaan Sriwijaya nan berada di Pulau Sumatra. Hingga akhirnya pada tahun 840 putri dari Wangsa Syailendra nan bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan nan merupakan keturunan dari Wangsa Sanjaya. Dari perkawinannya antara Pramodawardhani maka Rakai Pikatan sukses menduduki tahta sebagai raja di Kerajaan Medang.

Kemudian oleh Raja Rakai Pikatan, istana kerajaan dipindahkan ke Mamrati. Peristiwa naiknya Rakai PIkatan nan merupakan keturunan dari Wangsa Sanjaya dianggap sebagai kebangkitan dari Wangsa Sanjaya itu sendiri.

Dalam sebuah Prasasti Mantyasih ada disparitas pendapat mengenai para raja Medang. Berdasarka teori dari Bosch maka berdsarkan nama nan ada di dalam prasasti tersebut diambil konklusi bahwa raja-raja Medang merupakan keturunan dari Wangsa Sanjaya secara keseluruhan.

Namun teori itu tak sejalan dengan pendapat dari Slamet Muljana nan beranggapan bahwa nama-nama nan ada pada Prasasti Mantyasih ialah daftar nama raja-raja nan pernah berkuasa di Medang. Jadi bukanlah merupakan daftar silsilah keturunan dari Wangsa Sanjaya.

Sebagai contoh ialah tertolaknya teori van Nersen nan menyatakan kekalahan Rakai Panangkaran nan merupakan keturunan Sanjaya oleh Raja Syailendra nan menandakan berpindahnya kekuasaan dari Sanjaya ke Syailendra. Menurut Slamet Muljana bahwa Rakai Panangkaran dianggap bukan merupakan keturunan dari Sanjaya.

Hal tersebut didasarkan pada temuan prasasti nan ada. Prasasti tersebtu ialah Prasasti Kalasan nan mengagung-agunkan Rakai Panangkaran sebagai Sailendrawangsasatilaka. Maksud dari "sailendrawangsasatilaka" ialah permata wangsa Sailendra. Jadi Rakai Panangkaran bukanlah keturunan sanjaya sebab disebut sebagai permata sailendra.

Menurut Slamet juga bahwa berdasarkan Prasasti Matyasih maka Rakai Panangkaran hingga Rakai Agung merupakan keturunan dari Wangsa Sailendra. Sedangkan bangkitnya Wangsa Sanjaya setelah Wangsa Sailendra ialah pada waktu Rakai Pikatan menjadi Raja menggantikan Rakai Garung.

Penggunaan nama "Rakai" pada Kerajaan Medang memiliki makna nan sama dengan istilah "Bhre" pada Kerajaan Majapahit. Istilah Rakaia pada Kerajaan Medang dan Bhre pada Kerajaan Majapahit memiliki arti penguasa. Jadi adanya gelar Rakai Panangkaran memiliki arti sebagai penguasa panangkaran. Dalam sejarah nan ditemukan di Prasati Kalasan ditemukan bahwa nama orisinil dari Rakai Panangkaran ialah Dyah Pancapana.

Di lain waktu ada dinasti ketiga nan berkuasa di Kerajaan Medang. Dinasti tersebut ialah Dinasi Isyana nan merupakan penguasa Kerajaan Mataram setelah pindah dari Jawa Tengah. Dinasi ini memindahkan pusat Kerajaan Mataram nan semula berada di Jawa Tengah berindah ke Jawa Timur.

Pendiri dari Dinasi Isyana nan berpusat di Jawa Timur ialah Mpu Sindok. Mpu sindok sendiri baru membangun kerajaannya di Tamwlang pada tahun 929. Kerajaan nan didirikan oleh Mpu Sindok merupakan lanjutan dari kerajaan Mataram sebab pada prasasti nan ada diketahui bahwa Mpu Sindok secara tegas menyatakan bahwa kerajaan nan ia bangun merupakan kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta I Medang I Bhumi Mataram.

Itu merupakan bukti bahwa Kerajaan Mataram nan dibangun oleh Mpu Sindok nan berpusat di Jawa Timur merupakan lanjutan dari Kerajaan Mataram nan sebelumnya ada di Jawa Tengah.



Kepindahan Kerajaan Mataram Kuno

Ketika pemerintahan Dyah Wawa, pemerintahan Kerajaan Mataram Antik di Jawa Tengah berakhir. Tidak ada catatan sejarah nan dapat menjabarkan penyebab kepindahan pusat pemerintahan ke Jawa Timur tersebut. Termasuk dalam berbagai prasasti nan ditemukan dan dibuat pada masa pemerintahan kerajaan Mataram Kuno.

Namun ada sebuah pemikiran nan dikemukan seorang pakar sejarah dari Belanda, Van Bammelen. Menurutnya, kemungkinan penyebab perpindahan pusat kerajaan Mataram Antik ialah faktor alam. Dalam hal ini, letusan gunung Merapi antik nan sangat dahsyat.

Letusan Merapi antik itulah nan menghancurkan pusat kebudayaan Kerajaan Mataram Antik berikut semua fasilitas nan ada. Letusan tersebut menyebabkan adanya perubahan struktur bumi dengan membentuk wilayah nan bernama Gunung Gendol dan juga Pegunungan menoreh. Selain itu, dahsyatnya letusan diperkirakan membawa beberapa akibat erupsi seperti terjangan hujan abu nan cukup pekat dan longsoran batuan vulkanik nan berukuran cukup besar.

Teori ini makin kuat dibenarkan, setelah pada tahun 2010 gunung Merapi meletus nan menimbulkan imbas luar biasa. Kawasan jangkauan akibat Merapi pun sangat luas dan menimbulkan kerusakan nan luar biasa. Sehingga, diperkirakan letusan dahsyat Merapi antik memang merupakan penyebab dipindahnya pusat kerajaan Mataram Antik tersebut ke kawasan Jawa Timur.



Kerajaan Mataram Antik dan Kebijaksanaan Para Rajanya

Kerajaan Mataram Antik dipimpin oleh seorang raja. Menjadi raja ialah anugerah. Apalagi ketika raja diidentikkan dengan sesosok manusia nan berkuasa layaknya dewa. Punya power luar biasa, kharisma memukau dan kearifan nan tertempa dari pengalaman sarat hikmah. Itulah sekelumit citra para raja zaman dahulu. Khususnya ketika masa Kerajaan Mataram Antik memerintah Pulau Jawa, pada abad ke-8 hingga awal abad ke-11 Masehi.



Kerajaan Mataram Antik - Keagungan Raja Mataram Kuno

Bagi rakyat di Kerajaan Mataram Kuno, sosok raja begitu mengultus. Dihormati bahkan dipuja keberadaan mereka. Menjadi panutan dalam bersikap maupun berperilaku. Perkataan para raja ialah sesuatu nan sakral. Sabda pandita ratu.

Kata-kata raja merupakan titah nan tidak boleh disangkal atau diragukan kebenarannya, pun dengan raja nan pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Wibawa mereka begitu agung. Bahkan ketika raja tersebut telah mangkat, wibawa mereka tidak pudar. Para raja nan telah meninggal, oleh rakyatnya tetap dipuja. Raja-raja itu dibangunkan makam latif dan patung nan dikaitkan dengan sosok para dewa (tradisi Hindu) atau sang Budha (tradisi Budha).

Terlepas dari sisi kesakralan para raja Kerajaan Mataram Kuno, mereka sebagai manusia ialah sosok terpilih. Kematangan dan kedewasaan dalam berperilaku memang di atas rata-rata masyarakat pada saat itu. Tak heran bila rakyat meletakkan status raja di posisi paling tinggi dalam kasta sosial Kerajaan Mataram Kuno.

Meskipun termasuk dalam kasta ksatria nan secara stratanya di bawah kelas brahmana, tapi dispensasi bagi raja. Mereka ialah puncak tingkatan atau kasta. Simbol sekaligus wujud konkret dari keagungan dan kebijaksanaan. Filosofi seperti itu juga berkenaan dengan raja di Kerajaan Mataram Kuno.



Sekilas Kerajaan Mataram Antik

Sebelum mengulas lebih jauh bagaimana kebijaksanaan para raja Kerajaan Mataram Kuno, kita ulas selintas sejarah kerajaan nan punya pengaruh konkret bagi kehidupan suku bangsa Jawa itu. Suatu bentuk imperium kekuasaan nan membentang dari wilayah Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Kerajaan Mataram Antik ialah kerajaan adigdaya nan meninggalkan banyak bukti arkeologis dari keberadaan mereka. Baik itu berupa prasasti maupun candi-candi megah yang latif nan hingga kini masih bisa dinikmati. Salah satunya ialah candi Borobudur dan Prambanan. Candi termegah dan terelok di dunia.

Selain bernama Kerajaan Mataram Kuno, kerajaan ini juga punya dua nama lain nan dikenal yakni Kerajaan Medang dan Kerajaan Mataram Hindu. Nama Kerajaan Medang banyak ditemukan di prasasti-prasasti hasil temuan para arkeolog.

Sedangkan nama Kerajaan Mataram Antik atau Kerajaan Mataram Hindu, mengacu pada salah satu daerah nan menjadi ibu kota kerajaan tersebut, yaitu Mataram. Ada pun penamaan di belakangnya yakni 'Kuno' atau 'Hindu', buat membedakan dengan kerajan lain nan muncul beberapa abad kemudian, Kerajaan Mataram Islam.

Lalu, di mana letak wilayah bernama Mataram tersebut? Sebagian besar ahli sejarah menunjuk Kota Yogyakarta sebagai wilayah nan dikenal bernama Mataram. Dahulunya, daerah ini ialah pusat pemerintahan dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kebudayaan dan bertahtanya para raja dari kerajaan penguasa tanah Jawa tersebut. Ibu kota awal dari berdirinya Kerajaan Mataram Kuno.

Tetapi, dari beberapa prasasti nan telah ditemukan, ibu kota Kerajaan Mataram Antik ternyata tidak hanya ada di Mataram. Ada beberapa loka nan pernah menjadi pusat pemerintahan. Mulai dari 'Mamrati' dan 'Poh Pitu', diperkirakan terletak di daerah Kedu. Lalu 'Tamwlang' (Tembelang), dan 'Watugaluh' (Megaluh). Keduanya nama daerah tersebut terletak di daerah Jombang, Jawa timur. Daerah terakhir ialah 'Wwatan' (Wotani), terletak di daerah Madiun, Jawa Timur.

Berikut rincian dari nama-nama ibu kota dari Kerajaan Mataram Antik berdasarkan prasasti-prasasti nan telah ditemukan dan dapat terbaca:

  1. Medang i Bhumi Mataram (masa pemerintahan Raja Sanjaya).
  2. Medang i Mamrati (masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan).
  3. Medang i Poh Pitu (masa pemerintahan Raja Dyah Balitung).
  4. Medang i Bhumi Mataram (masa pemerintahan Raja Dyah Wawa).
  5. Medang i Tamwlang (masa pemerintahan Raja Mpu Sindok).
  6. Medang i Watugaluh (masa pemerintahan raja Mpu Sindok).
  7. Medang i Wwatan (masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh).

Meskipun berganti-ganti nama ibu kota atau pusat pemerintahan, nama Mataram ialah nama nan lazim dipakai buat menyebut nama kerajaan secara keseluruhan. Mataram pun jadi ikon dari kemegahan dan keagungan Kerajaan Mataram Kuno. Dari pergantian letak ibu kota tersebut, Kerajaan Mataram Kuno dibagi ke dalam dua periode, yakni periode Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sejarah mencatat bahwa selama rentang kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, ada tiga dinasti (wangsa) nan pernah berkuasa. Yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Wangsa Sanjaya mengacu pada nama raja pertama Kerajaan Mataram Kuno, Raja Sanjaya nan menganut agama Hindu genre Siwa. Dinasti berikutnya ialah Wangsa Sailendra nan beragama Buddha Mahayana. Pada masa kedua dinasti ini berkuasa (Wangsa Sanjaya dan Sailendra), pusat pemerintahan masih di wilayah Jawa Tengah (periode Jawa Tengah).

Adapun pada masa dinasti terakhir yaitu Wangsa Isyana, pusat pemerintahan sudah berada di kawasan Jawa Timur (periode Jawa Timur). Dinasti nan didirikan oleh Mpu Sindok ini, membangun pusat pemerintahan di Tamwlang (Tembelang) sekitar tahun 929 Masehi.



Kebijaksanan Para Raja Kerajaan Mataram Kuno

Selama tiga abad, Kerajaan Mataram antik diperintah oleh 16 raja. Raja-raja ini punya kekhasan kebijakan dalam memerintah. Pemikiran dan tingkah laku mereka, jadi acuan mayoritas rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Berikut ini nama dari raja-raja tersebut:

  1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Kuno.
  2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra.
  3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra.
  4. Rakai Warak alias Samaragrawira.
  5. Rakai Garung alias Samaratungga.
  6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya.
  7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala.
  8. Rakai Watuhumalang.
  9. Rakai Watukura Dyah Balitung.
  10. Mpu Daksa.
  11. Rakai Layang Dyah Tulodong.
  12. Rakai Sumba Dyah Wawa.
  13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur.
  14. Sri Lokapala, suami Sri Isanatunggawijaya.
  15. Makuthawangsawardhana.
  16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Antik berakhir.

Keenambelas raja Kerajaan Mataram Antik tersebut merupakan sosok nan punya kharisma dan kebijaksanaan dalam memerintah. Kewibawaan nan terbangun bukan hanya sebab statusnya sebagai raja, namun juga disebabkan kebijaksanaan mereka dalam berpikir dan berbuat.

Mereka pun tidak hanya dihormati, tapi juga dicintai oleh rakyatnya. Berikut ini, diambil tiga raja pertama dari kerajaan Mataram Kuno. Setidaknya mereka dapat mewakili kebijaksaan dari ke-13 raja-raja lainnya. Memberikan contoh bagaimana sosok ideal seorang raja dalam memerintah.



1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Raja Pertama Kerajaan Mataram Kuno

Raja Sanjaya berkuasa di Mataram Antik cukup lama, yaitu sekitar 28 tahun (732-760 M). Selama rentang waktu tersebut, Sanjaya memusatkan perhatiannya pada aspek religiusitas dan kesusastraan. Maraknya pembangunan candi-candi di Gunung Dieng jadi bukti penguatan sisi religi.

Untuk bidang kesusastraan, Sanjaya membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat Kerajaan Mataram Antik buat mengenal majemuk karya sastra dengan baik. Contoh, pedagogi puisi jadi pendidikan nan wajib diikuti oleh masyarakat umum. Terutama bagi kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat, mereka harus memahami ilmu pengasah kehalusan jiwa itu.

Sebagai raja pertama Kerajaan Mataram Kuno, Sanjaya terkenal dengan wejangan-wejangan penuntun kehidupan. Wejangan itu berupa empat macam perbuatan luhur buat mencapai kehidupan sempurna, yaitu:

  1. Tresna (cinta kasih).
  2. Gumbira (bahagia).
  3. Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain).
  4. Mitra (memiliki banyak kawan, sahabat, saudara atau teman).


2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Raja Kedua Kerajaan Mataram Antik

Mewarisi kebijaksanaan dari ayahnya, Rakai Panangkaran (760-780 M) melanjutkan kejayaan dari Kerajaan Mataram Kuno. Tak hanya wilayah kerajaan nan semakin meluas, raja Mataram Antik itu pun memerintah dengan kearifan layaknya seorang pemimpin.

Ini bisa dilihat dari nasihat mengenai kebahagiaan hayati manusia. Yaitu hal-hal nan harus diperjuangkan buat diperoleh manusia sepanjang hidupnya:

  1. Kasuran (kesaktian).
  2. Kagunan (kepandaian).
  3. Kabegjan (kekayaan).
  4. Kabrayan (banyak anak cucu).
  5. Kasinggihan (keluhuran).
  6. Kasyuwan (panjang umur).
  7. Kawidagdan (keselamatan).


3. Sri Maharaja Rakai Panaggalan, Raja Ketiga Kerajaan Mataram Kuno

Raja ketiga dari Kerajaan Mataram Antik ini terkenal dengan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan. Termasuk juga memberikan sumbangsih krusial dalam almanak Jawa Kuno. Selama masa pemerintahannya, pencerahan akan hukum terjaga dengan baik. Hal ini bukti dari keberhasilan penerapan dari konsep Catur Guru nan dikembangkan oleh Rakai Pananggalan (780-800 M).

Catur berarti empat, sedangkan Guru ialah berat. Sehingga Catur Guru berarti empat guru nan mempunyai tugas berat, terdiri atas:

  1. Guru Sudarma, orang tua nan melahirkan manusia.
  2. Guru Swadaya, Tuhan.
  3. Guru Surasa, bapak dan ibu guru di sekolah.
  4. Guru Wisesa, pemerintah pembuat undang-undang buat kepentingan bersama.