Inovasi Rumah Honai

Inovasi Rumah Honai

Bagaimana rumah adat Irian Jaya ? Sebagai bangsa besar, Indonesia memiliki keragaman. Mulai dari alam, bahasa, suku, dan bangunan bersejarah. Disparitas di setiap daerah melambangkan kekayaan melimpah masyarakat nan tinggal di wilayahnya masing-masing. Hingga saat ini, budaya daerah masih dipertahankan sebagai bagian dari upaya menghormati warisan leluhur.

Di tengah arus modernisasi, warisan budaya seperti rumah adat masih banyak ditemui di berbagai belahan nusantara. Rumat adat tak hanya berfungsi sebagai loka tinggal, tetapi juga menjadi loka rendezvous para pemuka adat. Beberapa rumah adat sudah beralih guna menjadi museum atau objek wisata.

Rumah adat memiliki perbedaan makna berbeda dalam hal bentuk dan arsitektur rumah di setiap daerah nan melambangkan karakteristik khas budaya setempat. Secara umum, di dalamnya terdapat banyak ukiran-ukiran nan menghiasi tiap sudut rumah. Bentuk rumah adat paling latif dimiliki oleh para keluarga raja pada zaman dahulu atau kepala suku nan menggunakan bahan kayu pilihan dan dikerjakan oleh tanaga pakar dibidangnya.



Desain Sederhana Rumah Honai

Rumah adat juga menyimpan banyak pesan arti kehidupan terhadap satu kelompok maupun dengan kelompok lain. Filosofi rumah adat tercermin dari struktur dan desain bangunan nan dirancang sedemikian unik. Rumah adat Irian Jaya dibuat dengan bentuk sederhana. Tujuannya sekadar melindungi penghuninya dari udara dingin Pegunungan Jayawijaya. Desain sederhana menjadi landasan primer pembangunan rumah, sehingga mempermudah gerak mereka nan bahagia hayati berpindah.



Bentuk

Rumah adat Irian Jaya nan disebut honai berbentuk kubah (dome) nan ujung atasnya mengerucut. Bentuk honai nan bulat sengaja dirancang agar mampu meminimalkan pengaruh cuaca dingin maupun tiupan angin kencang bersuhu rata-rata 190° C. Rumah honai berdiameter 5 meter sampai 7 meter dan tinggi bangunan berkisar antara 2 meter sampai 2,5 meter.



Atap

Bentuk atap rumah honai adalah bulat kerucut dengan fungsi melindungi seluruh permukaan dinding agar tak terkena air hujan. Secara fisik, atap rumah honai dibuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar berbahan kayu buah nan dibakar di tanah. Atap rumah diikat menjadi satu di bagian atas, sehingga membentuk kubah.

Pohon muda sebanyak empat buah diikat di taraf paling atas secara vertikal, membentuk persegi kecil sebagai loka perapian. Sementara itu, epilog atap dibuat dari jerami nan diikatkan pada lingkaran kayu nan menyerupai kubah . Lapisan jerami tebal dipilih sebab cocok dipakai di daerah beriklim dingin. Selain itu, jerami ringan dan lentur memudahkan dalam penerapannya pada atap melengkung bulat.



Dinding dan Bukaan

Rumah honai umumnya nan tak mempunyai ventilasi diperuntukkan bagi kaum perempuan. Jika masuk ke dalam rumah honai, maka akan terasa cukup hangat dan gelap sebab tak ada celah bagi cahaya maupun udara luar masuk ke dalam. Rumah honai memiliki satu pintu pendek, sehingga mengharuskan orang menunduk saat memasuki rumah honai.

Mengatasi kegelapan malam hari, penghuni rumah honai memanfaatkan kayu bakar sebagai penerangan. Kayu bakar diletakkan di dalam tanah nan sudah digali, kemudian dibakar hingga menjadi bara barah nan menerangi seisi rumah honai. Bara barah juga bermanfaat buat menghangatkan tubuh ketika hawa dingin malam.

Tempat tidur di rumah honai tanpa menggunakan dipan atau kasur, tetapi beralaskan rerumputan kering. Rumput-rumput kering tersebut dibawa dari kebun atau ladang dan umumnya diganti apabila cukup lama sebab banyak disusupi kutu babi.



Tinggi Bangunan

Bangunan rumah honai terdiri dari 2 lantai, di mana lantai bawah dan lantai atas dihubungkan dengan sebuah tangga dari bahan bambu. Bangunan lantai pertama terdiri dari kamar-kamar nan berfungsi sebagai ruang tidur orang laki-laki. Sementara lantai kedua dipakai sebagai ruang bersantai dan beraktivitas lainnya bagi wanita dan anak-anak. Di bagian tengah ruangan, tepatnya di lantai pertama, dinyalakan barah unggun agar bisa menghangatkan tubuh penghuninya.

Rumah tradisional suku Dani ini memiliki tiga macam, yaitu rumah honai bagi laki-laki nan disebut “apinakunu”, rumah honai bagi perempuan disebut “ebeai”, dan rumah buat ternak disebut “wamai”. Secara umum, rumah adat honai merupakan rumah milik penduduk orisinil Irian Jaya, meskipun terdapat beberapa perbedaan.

Hal ini lebih disebabkan letak rumah tersebut dibangun di daerah berbeda dan perbedaannya tak begitu mencolok. Keunikan khasanah kebudayaan honai merupakan cerminan kekayaan bangsa Indonesia, sehingga tak mengherankan apabila dijumpai honai di beberapa museum nan tersebar di Indonesia.



Filosofi Rumah Honai

Rumah honai dibangun dengan fungsi dan landasan filosofi nan berkesan mendidik generasi ke generasi agar menghormati warisan dari nenek moyang. Bangunan honai berbentuk bulat dan mengerucut di bagian atapnya mengandung tiga filosofi nan sangat berarti. Pertama, rumah honai menyimbolkan rasa persatuan dan kesatuan nan tertinggi dalam rangka mempertahankan budaya nan telah dipertahankan oleh nenek moyang dari jaman dulu hingga sekarang.

Kedua, bermukin di dalam satu rumah honai, berarti semua penghuninya mempunyai ikatan sehati. Dalam hal berpandangan pun berada dalam satu pikiran buat menuju satu tujuan dalam menyelesaikan pekerjaan. Hal ini bisa dilihat dari fungsi rumah honai sebagai loka berkumpul dan bermusyawarah mengenai semua aspek persoalan kehidupan.

Ketiga, rumah honai menjadi simbol konkret kepribadian dan prestise suku Dani nan harus dijaga terus di masa mendatang. Nilai-nilai kehidupan diajarkan kepada anak-anak agar kelak menjadi generasi nan berguna dan melestarikan kebudayaan suku Dani. Banyak simbol dan alat-alat suku Dani nan tersimpan didalam rumah Honai.



Inovasi Rumah Honai

Rumah adat Papua atau nan terkenal dengan sebutan honai dimiliki oleh suku Dani nan tinggal di wilayah Pegunungan Jayawijaya. Rumah honai dibuat sepenuhnya menggunakan bahan-bahan nan tersedia di alam, seperti kayu pada tembok rumah dan jerami sebagai bahan atap rumah. Rumah sengaja dibangun oleh suku Dani secara tertutup tanpa dilengkapi ventilasi agar penghuninya merasa nyaman dan aman.

Beberapa waktu nan lalu, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) menjalin kolaborasi dengan Puslitbangkim Kementerian Pekerjaan Generik mengapungkan sebuah gagasan membangun contoh rumah honai sehat nan disebut “homese” atau honai menuju sehat. Homese dirancang dengan pendekatan budaya lokal dalam hal kondisi iklim, kondisi geografis, kesehatan, teknik membangun, bahan bangunan, dan arsitektur venakular.

Adapun tujuan pembangunan dan pengembangan homese adalah membangun sebuah loka tinggal nan layak dihuni sinkron dengan persyaratan, tanpa meninggalkan kearifan budaya setempat. Perubahan cara pandang masyarakat Irian Jaya diharapkan terbentuk mengenai budaya hayati sehat. Pendekatan nan dilakukan melalui sosialisasi fisik bangunan honai dan lingkungan sehat.

Konsep desain homese sendiri tak menghilangkan ciri budaya rumah honai sebab tetap mempertahankan loka api. Sudah diketahui bahwa rumah honai memiliki tungku barah buat menghangatkan ruangan. Hanya saja, ada penambahan cerobong asap sampai ke lantai atas agar tercipta ruang bersirkulasi udara sehat.

Homese bisa dikatakan sebagai penemuan seni arsitektur rumah honai nan dikombinasikan dengan seni arsitektur modern. Homese pun tetap bisa menjalankan perannya mengajari dan membesarkan anak-anak Irian Jaya buat menghargai dan mencintai alam. Lebih jauh lagi, rumah honai nan menggunakan bahan alam mengartikan kehidupan sebagai interaksi mutualisme antara manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang pencipta.