Keburukan Birokasi Pemerintah

Keburukan Birokasi Pemerintah

Reformasi birokrasi bergaung ketika para PNS masih asyik keluyuran ke mall . Remunerasi bergema ketika Gayus jadi milyarder dari skandal pajak. Kenaikan gaji disuarakan ketika korupsi merajalela, Ayin cs menyulap penjara bak hotel berbintang. Budaya kerja organisasi pemerintah menuai sorotan tajam. Namun, tidak sungkan minta privilege .



Keburukan Birokasi Pemerintah

Itulah paras jelek dalam birokasi nan di dalam pemerintahan Indonesia. Meminjam istilah Mochtar Lubis, malas dan hipokrit. Berikut ini daftar 7 keburukan budaya kerja organisasi pemerintah.

Malas

PNS sering tertangkap basah bermain game bounce ketika jam kerja. Aparatur pemerintah nan satu ini malas bukan kepalang. Ratusan kali warta nan menampilkan PNS bolos di hari raya. Kena teguran keras, dijemur, dan di sit-up . Eh, keesokan harinya bukan turun. Mati satu tumbuh seribu!

Begitu budaya nan ada di kalangan para pegawai negeri sipil. Tidak seperti nan ada di dalam pegawai partikelir nan memiliki dedikasi kerja nan tinggi. Jika dibandingkan antara kinerja pegawai partikelir dengan pegawai negeri maka ibarat bumi dan langit.

Sungguh merupakan suatu pemandangan nan jauh berbeda. Meskipun demikian langkah pemugaran juga sudah dilakukan oleh pihak pemerintah tetapi lagi-lagi masih belum ada hasil nan signifikan.

Ada beberapa hal nan menyebabkan semua hal tersebut dapat terjadi. Salah satunya ialah faktor kenyamanan nan diperoleh oleh para pegawai negeri sipil tersebut. Meskipun mereka tak terlalu bekerja keras hasil nan diperoleh juga sama. Dalam artian meskipun kerja keras atau kerja biasa tetap saja gajinya tak akan berubah dan tak mendapatkan upah lembur kecuali bisa proyekkan.

Selain itu, sporadis sekali pegawai negeri sipil nan dipecat sebab malas juga sangat sporadis sekali dapat dilihat. Bila dapat dikatakan maka akan sangat mustahil bagi seorang nan sudah menjabat sebagai seorang pegawai negeri sipil buat dipecat jika tak melakukan tindakan nan berlebihan.

Hal inilah nan menjadikan seorang pegawai negeri sipil menjadi malas ketika melayani masyarakat. Bahkan ada nan malahan membuat nan mudah menjadi ribet demi mendapatkan pundi-pundi tambahan. Padahal sebenarnya hal tersebut sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka sebagai abdi masyarakat.

Lama

Pernah gak mengurus paspor, KTP, atau referensi lama setengah mati? Ya. Kalau Anda merasa hal nan sama. Anda tak sendirian. Jutaan rakyat Indonesia sebal bukan kepalang melihat tingkah birokrat kita nan membuat mudah jadi sulit.

Proses birokat nan berbelit dan tak sungguh-sungguh dalam melayani rakyat menyebabkan berbagai proses menjadi sangat lambat. Padahal jika dijalankan sinkron dengan mekanisme nan ada dapat terselesaikan dengan sangat cepat.

Entah apa nan menjadi penghambat dalam pengerjaan setiap tugas nan diembannya tersebut sehingga menjadikan suatu proses nan seharusnya cepat menjadi lambat. Bandingkan saja buat membuat buku tabungan di bank dengan membuat ktp di kelurahan. Niscaya akan sangat jauh berbeda sekali.

Jika di bank kita akan dengan mudah mendapatkan sebuah buku bank hanya dalam hitungan menit saja maka buku tabungan sudah jadi. Tentu saja hal tersebut berbeda sekali dengan pembuatan ktp nan butuh waktu lama dengan proses nan berbelit-belit. Padahal negara tidaklah akan menjadi suatu negara jika tak ada penduduknya (rakyat).

Sungguh sebenarnya hal ini ialah suatu bertentangan dengan harapan nan terjadi di negeri ini. Rakyat nan seharusnya mendapatkan kemudahan ketika hendak mengurus jati dirinya sebagai bangsa dengan memiliki KTP ternyata dipermainkan oleh sebagian orang. Sebagian orang tersebut ialah aparatur negara itu sendiri.

Korup

Wow, masalah satu ini tak usah dibicarakan lagi. APBN kita jebol 30 persen sebab korupsi. Uangnya mengalir ke kantong pribadi. Metode mark up , nilep sana sini, dan seterusnya, lumrah dilakukan. Ini sudah menjadi semacam lingkaran setan. Memotong budaya kerja ini susah.

Hal nan satu ini memang sudah terkenal di mana-mana. Mulai dari nan kecil hingga nan besar semuanya memiliki potensi nan sama buat korupsi. Banyaknya praktek korupsi nan terjadi membuat rakyat terkadang tak percaya kalau masih ada pemerintahan nan bersih.

Sebut saja buat pembuatan kartu tanda penduduk nan sebenarnya biaya tak seberapa besar menjadi berlipat ganda. Bahkan tak tanggun-tanggung dalam menarik pungutan buat mendapatkan sebuah kartu tanda penduduk nan nota bene ialah hak sebagai warga negara.

Biaya nan seharusnya tak sampai 25 ribu dapat melonjatk menjadi 300 ribu buat pembuatan suatu kartu tanda penduduk. Ini ialah salah satu cermin tindakan korupsi nan juga terjadi di ranah paling kecil atau bawah dari sistem pemerintah kita nan sangat bobrok. Meskipun demikian, pemerintah selalu berdalih dan berusaha memberantas semua itu.

Tertutup

Era transparansi tak selamanya berhasil direguk di republik demokrasi. Pemerintah terbuka ketika lampu kamera menyorotnya. Coba kalau media tak memberitakan, akses publik pada organisasi pemerintah akan tertutup. Terutama, di daerah nan kental dengan perbedaan makna orba.

Memang sahih sekali bahwa baru ketika mendapatkan sebuah sorotan media maka pemerintah baru berbondong-bondong buat memperbaikinya. Bukan langkah nan tepat sebenarnya ketika baru memperbaiki suatu sistem ketika baru mendapatkan sorotan media.

Namun hal tersebut masihlah mending daripada tak ada respon sedikitpun dari pemerintah walau media telah menyorotnya. Sistem nan tak transparan juga memberikan kesan bahwa ada sesuatu nan coba buat ditutupi dari pemerintah kepada rakyat.

Bukankah pemerintah tersebut bekerja buat rakyat. Jadi sudah seharusnya rakyat tahu akan kerja dari pemerintah tersebut. Dengan adanya transparansi maka rakyat akan dapat menilai sejauh apa perkembangan nan terjadi di negeri ini.

Seperti seorang mandor atau bos nan wajib tahu sejauh mana anak buahnya telah bekerja. Rakyat ialah bos bagi pemerintah nan harus tahu akan setiap perkembangan dari pekerjaan nan dilakukan oleh pemerintah dan bukanlah sebaliknya.

Nepotisme

Pernah mendengar aparat negara disewa dari lingkungan keluarga? Itu bukan imbasan jempol, lho. Nepotisme itu sahih terjadi. Akan tetapi, seperti kentut. Baunya terasa, namun sulit mendeteksi. Konduite tercela ini sudah langgeng sejak Pak Harto menjabat.

Tentu nan satu ini tak juga dapat terlepas dari apa nan ada di negeri ini. Rasanya hampir sangat sulit bagi orang eksklusif nan tak memiliki suatu koneksi atau interaksi dengan pejabat buat memiliki jabatan nan tinggi.

Rata-rata atau kebanyakan posisi nan strategis atau bahkan tak selalu diisi oleh mereka nan sudah saling kenal. Jika hal tersebut terjadi sebab memang kinerja dari mereka bagus maka tidaklah menjadi masalah. Namun apakah nan memiliki kinerja bagus hanyalah berasal dari golongan mereka saja?

Tentu saja hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita semua? Bangsa Indonesia ialah bangsa nan besar yagn jumlah penduduknya lebih dari dua ratus juta jiwa. Tentunya akan sangat mudah sekali buat mencari beberapa orang nan sangat kompeten dalam mengatur sebuah urusan negara dan tak harus berasal dari golongan atau keluarga mereka saja.

Hal ini tentu juga sering menyurutkan beberapa orang nan tak memiliki interaksi atau koneksi apapun jika ingin menjadi seorang pegawai pemerintah. Tentu saja tiada faktor lain kecuali sebab citra dari pegawai pemerintah nan sarat akan nepotisme.

Anti kritik

Ada lho kritikus nan diancam sana sini sebab membeberkan kebobrokan organisasi pemerintah. Diancam pasal pencemaran nama baik, diteror, dan seterusnya. Terutama, di daerah nan miskin pengetahuan demokrasi. Apalagi, menyangkut isu sensitif seperti korupsi. Wah, aparat pemerintah sering kebakaran jenggot!

Memang tak semua orang tahan terhadap kritik. Orang nan diam saja niscaya akan berteriak jika mendapatkan perlakuan tak senang. Begitu juga dengan mereka, namun kritikan nan diberikan oleh beberapa orang memiliki tujuan buat membangun pemerintah menjadi lebih baik.

Tetapi nan terjadi di lapangan ialah seringnya orang menjadi panas kuping ketika mendengar kritikan dari orang lain. Padahal sebenarnya bangsa nan besar ialah bangsa nan mendengar aspirasi rakyatnya.

Berjarak

Idealnya, organisasi pemerintah mengabdi pada publik. Lha, masyarakat kok nan membiayai mereka dari duit pajak. Contoh, Abdi Dalem Yogya nan patuh dan melayani. Eh, birokrat kita justru maunya melayani. Justru mental feodal nan menimpa aparat negara nan mendaku demokrasi. Interaksi masyarakat dengan aparat seperti patron klien. Main peras, minta sogokan, dan tidak simpatik.