Pasca Wafat Nabi

Pasca Wafat Nabi

Fiqih Islam , atau Al-Fiqhul Islamy , berarti pemahaman mendalam pada suatu hal. Suatu ilmu nan mengkaji hukum Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Produk hukum syar’iyyah tak dapat lepas dari kehidupan keseharian manusia, dalam ibadah dan muamalah.

Kajian fiqih Islam ibarat sebuah lautan nan tak pernah akan diketahui tepiannya. Satu masalah akan berkembang dan bercabang, lalu terurai lebih banyak dalam cabang-cabang lain. Dari satu masalah, bermunculan beberapa pendapat dari berbagai madzhab fiqih. Sering terjadi pula disparitas pendapat antar para ulama dalam satu madzhab.



Pintu Ijtihad

Perkembangan fiqih sangat terkait dengan ijtihad. Bahkan dapat dikatakan, agama akan terus sinkron dengan perkembangan zaman dan dapat menjawab segala persoalan manusia jika pintu ijtihad tetap terbuka lebar.

Ijtihad ialah usaha buat melepaskan belenggu-belenggu nan selalu mengikat akal manusia agar mampu memperluas wawasan dan peluang dalam menarik beberapa masalah dari akar-akar masalah.

Eksistensi agama tak bisa terpisahkan dari akal. Karena analisa membutuhkan kekuatan dan kecerdasan akal buat mendukung tegaknya agama. Dalam menentukan satu hukum dari berbagai hukum, agar dekat kepada kebenaran dengan logika syara .

Hukum sebagai anggaran manusia di muka bumi telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ulama fiqih meneliti pokok-pokok pemahaman dari keduanya, menjadi perangkat buat melahirkan suatu produk hukum atas masalah-masalah nan muncul kemudian.

Dengan pemahaman nan mendalam pada anggaran nan sinkron dengan hukum Allah, bertujuan demi keselamatan manusia di kehidupan global dan akhirat. Tanpa dominasi ilmu fikih maka seseorang akan kesulitan dalam memahami perintah dan embargo dari Allah SWT secara jelas.

Islam turun melalui Rasulullah Saw dengan memuat berbagai hukum nan bersifat khusus dan juga ada nan dalam bentuk generik atau global. Dengan sifat hukum ini memungkinkan seorang muslim memecahkan segala persoalan hidupnya, yakni dengan cara mengembalikan semua permasalahan hayati kepada ajaran Islam terutama pada Alqur’an dan Alhadits.

Di setiap masa nan dilalui, kaum muslimin diwajibkan buat selalu terikat dengan hukum syara’. Namun dijumpai dalam perkembangan sejarah manusia, terdapat permasalahan-permasalahan nan baru muncul tak sebagaimana pada zaman Nabi Saw. Disinilah peran dari seorang mujtahid buat menggali hukum atas permasalahan-permasalahan nan baru tersebut, yakni dengan mencari dalil-dalil nan berkaitan dan mengambil konklusi hukum atasnya.

Sebagai contoh permasalahan nan tak ditemui di zaman Rasulullah dan para sahabat ialah bayi tabung. Kemajuan teknologi di bidang kesehatan saat ini memungkinkan seorang wanita mendapatkan keturunan dengan proses bayi tabung. Yakni merekayasa dengan alat bantu nan canggih sehingga memudahkan sel telur dibuahi oleh sel sperma tanpa adanya interaksi badan antara wanita dan pria.



Fiqih Masa Nabi

Masalah fiqih di masa hayati Rasulullah saw, diselesaikan oleh Nabi sebagai sumber wahyu dan acum solusi kehidupan saat itu. Periode ini disebut juga sebagai periode risalah , terbagi pada 2 periode: periode Mekah, banyak diturunkan syariah tentang masalah akidah Islam, ketauhidan, dan keimanan.

Periode Madinah, banyak ayat-ayat diwahyukan tentang ibadah, muamalah, dan akhlaq. Pada masa ini, ijtihad mulai digunakan tetapi semua hasil ijtihad selalu diberitakan kepada Nabi Muhammad buat meminta persetujuannya.



Pasca Wafat Nabi

Pasca mati Nabi Muhammad, sumber fiqih Islam berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah Nabi nan disertai pula dengan ijtihad-ijtihad para sahabat Nabi. Ijtihad dilakukan ketika solusi masalah tak ditemukan secara tegas dan jelas dalam teks syar’i .

Perkembangan penyebaran agama Islam, akulturasi ragam budaya dengan etnis lain, serta perkembangan peradaban manusia semakin kompleks dan membutuhkan jawaban-jawaban agama.

Para ulama dituntut buat menemukan hukum dari Al-Quran, jika tak ditemukan secara eksplisit maka dicari dari Sunnah Nabi. Jika tak ditemukan dalil nan jelas, maka dilakukan ijtihad nan berdasarkan para dalil-dalil syar’i nan dinilai secara tersirat berhubungan dengan masalah tersebut.

Pada masa sahabat, berikut ini nan terkenal banyak memberikan fatwa: Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar.

Selain itu, terdapat sahabat lain nan suka memberikan fatwa walau terbatas, di antaranya: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Hurairah, Utsman ibn ‘Affan, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Salman Al-Farisi, dan Mu’adz bin Jabbal.

Fuqaha Pasca Sahabat Nabi

Setelah periode sahabat, dikenal dengan periode Tabi’in. Lahirlah para pakar fiqih, atau fuqaha , di berbagai negeri Islam nan sebagian besar berguru kepada para sahabat Nabi nan telah menyebar ke berbagai daerah. Fiqih Islam terus berkembang di berbagai wilayah nan luas. Maka dari kalangan tabi’in dikenal juga:

Fuqaha Madinah, di antaranya: Sa’id ibnul Musayyab, ‘Urwah ibn Zubair, Khaarijah ibn Zaid, dan Sulaiman ibn Yasar. Fuqaha Mekah, di antaranya: ‘Athaa’ bin Abi Rabbah, Mujahid bin Jabar, ‘Ubaid bin ‘Umair, Abdullah bin Abi Mulaikah, dan ‘Ikrimah. Fuqaha Bashrah, di antaranya: ‘Amr bin Salamah, Abu Maryam Al-Hanafi, Hasan Al-Bashri, dan Muhammad ibn Siiriin.

Fuqaha Kufah banyak mempelajari ilmu dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud), di antaranya: ‘Alqamah ibn Qays An-Nakha’I, Al-Aswad ibn Yazid An-Nakha’I, dan Syuraih ibnul Haarits Al-Qadhi. Dikenal pula fuqaha Syam, fuqaha Mesir, fuqaha Qairawan, fuqaha Andalus.

Selain itu lahir pula imam-imam fiqih nan dikenal sampai sekarang sebagai madzhab fiqih terbesar, yaitu: Madzhab Syafi’I, Madzhab Abu Hanafih, Madzhab Ahmad bin Hambali, Madzhab Malik bin Anas, dan Madzhab Ja’far Ash-Shidiq. Kelima madzhab ini berkembang pada masyarakat Islam di seluruh global sebagai sumber acum pendapat dalam menentukan hukum Islam, termasuk Indonesia.

Mendidik generasi nan pandai akan fikih islam tentu merupakan tantangan nan besar sekarang. Era nan modern dan serba cepat ini memungkinkan adanya hubungan nan tidak terbatas antara kebudayaan islam dengan budaya barat dan non islami. Akibatnya timbul Norma di tengah masyarakat nan tak berasal dari ajaran agama sendiri. Budaya kebebasan bertingkah laku dan berpendapat mendorong setiap muslim buat melewati batas-batas hukum syara’.

Pemuda-pemudi nan fakih tentang ilmu agama akan bisa membedakan perkara nan dibolehkan dan dilarang oleh hukum syara’. Sehingga ilmu tersebut akan menjadi penuntun hayati nan setia menyertai para pemuda. Para pelajar nan kerap masuk pemberitaan media sebab tingkah laku negatif, tentu disebabkan jauhnya mereka dari akidah, akhlak dan syariah Islam.

Semua muslim niscaya mendambakan lahirnya generasi nan mahir dalam ilmu fikih setara dengan para imam terdahulu. Dimulai pendidikan nan baik di ranah keluarga hingga masyarakat guna menciptakan lingkungan aman bagi anak-anak dan remaja islam.

Pengetahuan fiqih dalam Islam membimbing seseorang buat senantiasa menjalani hayati sinkron dengan aturan-Nya, demi kebaikan hayati di global dan di kehidupan setelah kematian nanti. Selamat belajar ilmu fikih. Wallahu a’lam .