Perjalanan Melaksanakan Ibadah Haji Saat Ini

Perjalanan Melaksanakan Ibadah Haji Saat Ini



Resiko Ibadah Haji

Bagi orang nan menunaikan ibadah haji ke tanah suci, mereka menghadapi resiko berat. Mulai kesengsaraan di perjalanan, ancaman kematian sebab berdesakan, hingga terinjak-injak oleh sesama jemaah haji saat menjalankan rangkaian ibadah haji. Bahkan tahun 2008 jamaah haji asal Indonesia pernah mengalami kelaparan dampak manajemen nan kurang baik dari panitia penyelenggara haji. Hal-hal nan tersebut di muka merupakan resiko nan dialami oleh jamaah haji pada zaman modern ini.

Banyak nan begitu senang menginjakan kaki di tanha kudus sehingga tak mengatur tenaga dnegan baik. Diawal kehadirannya, ia selalu pergi ke masjid dan tak mengindahkan kesehatan. Akhirnya ketika hari H nan dinantikan tiba, ia sakit dan tak mampu melakukan kewajiban haji. Ia pun harus membayar dam atau denda. Padahal ibadah haji ini ialah ibadah fisik. Lingkungan nan baru dengan suhu sangat terkadang cukup ekstrim, membutuhkan taktik dan harus sangat mengenal keadaan diri sendiri.

Kalau sekiranya sudah terasa sakit dan loka menginap jauh dari masjid, ada baiknya tak ke masjid dan menghemat tenaga buat rukun haji nan memang wajib dilakukan. Berbeda kalau tenaga cukup kuat dan badan terasa sehat. Perjalanan ke masjid nan berjarak 3-4 km, itu tak terasa berat sebab memang niat ibadah telah memberikan suntikan tenaga nan sangat luar biasa. Apalagi ditunjang dengan asupan makanan dengan gizi seimbang dan multi vitamin nan memang telah disiapkan.

Tidak heran kalau dalam menunaikan haji ini, pemerintah menyarankan agar orang-orang nan berusia muda secepatnya mendaftarkan diri buat berhaji. Dengan demikian diharapkan bahwa ibadah nan akan dijalankan selama kurang lebih satu bulan penuh itu akan terlaksana dengan baik. Tetapi tak dapat juga dipukul rata bahwa orang nan usia lanjut itu tak mampu melakukan ibadah seutuhnya. Banyak peristiwa nan membuktikan kekuasaan Alalh Swt.

Orang tua nan berusia 70 tahunan, malah tampak gagah dan tak kekurangan apapun. Allah Swt membuatnya kuat beribadah. Tidak hanya nan laki-laki, wanita nan berusia lanjut pun mampu melaksankan semua rukun haji dengan baik. Mereka terlihat tak kekurangan apapun. Usia senja membuat mereka lebih pasrah dan tawakal. Sikap inilah nan membuat mereka tak arogan dan tak merasa hebat dan sehat. Kekurangan mereka membuat mereka merasa bahwa mereka harus berpasrah selalu.

Akhirnya dengan doa nan tidak terputus itulah mereka dapat menunaikan rukun Islam ke-5 dengan mulus dan lancar. Sebaliknya, anak orang nan merasa sangat sehat ketika di tanah air nan dibuktikan dengan inspeksi kesehatan, akhirnya jatuh sakit dan harus membayar denda cukup banyak. Ia tak mampu melakukan kewajiban hajinya sendiri. Kesombongan walau sedikit pun ternyata menjadi bumerang nan menyakitkan.

Tiada nan sulit kalau dibuat mudah dan tiada nan mudah kalau dibuat sulit. Tawakal dan selalu berpasrah ialah kunci berhaji nan harus dicamkan oleh orang-orang nan telah memasang niat melangkah ke tanah suci. Setelah kembali ke tanah air pun, tak perlu memasang titel haji di depan nama sebab sesungguhnya gelar haji itu bukan sesuatu nan menjadi pembeda dalam status sosial. Kalau dipasangkan titel haji, ditakutkan malah akan terserang penyakit riya’



Resiko Berhaji Zaman Dahulu

Kalau sekarang saja masih begitu banyak rintangan nan dihadapi ketika berhaji lalu bagaimanakah resiko nan dihadapi oleh jamaah haji ratusan tahun nan lalu? Beratnya perjuangan itu niscaya akan membuat banyak orang berpikir lama buat mempersiapkan bekal berangakt ke tanah air. Kalau sekarang saja jamaah haji reguler itu minimal meluangkan waktu sekira 40 hari, jamaah haji zaman dahulu harus mempersiapkan waktu selama setengah tahun. Atau bahkan lebih. Perjalanan dengan kapal bahari saja dapat mencapai 30 hari. Pulang pergi, 60 hari.

Tentu kita tahu para jamaah haji di zaman dulu tak naik pesawat terbang sebagai transportasi haji. Transportasi darat nan diandalkan saat itu hanyalah unta dan kuda. Dapat kita bayangkan, betapa berat ujian nan harus diterima oleh jamaah haji nan bertempat tinggal jauh dari tanah kudus seperti Indonesia. Sehingga pada masa dahulu, perjalanan ibadah haji selalu dilepas kepergiannya dengan tangisan, sebab risi tak akan kembali lagi ke tanah air.

Dulu perjalanan haji dari Indonesia menuju Mekkah dapat jadi harus mencapai 2 hingga 6 bulan. Perjalanan menyeberangi pulau-pulau hanya dapat dilakukan dengan kapal layar sederhana. Untuk melaksanakan perjalanan ibadah haji, sesorang harus mempersiapkan segala kemungkinan terburuk. Saat itu jamaah haji ada nan ditemukan tertunda sampai di tanah kudus sebab kehabisan bekal ataupun menderita sakit.

Para bajak laut, perampok, angin topan dan badai juga cukup mengancam, maka diperlukan kewaspadaan nan tinggi bagi para kafilah haji. Dalam masa-masa semacam ini mereka tinggal di negara-negara loka bahtera layar mereka singgah. Beratnya perjuangan buat menunaikan perjalanan ibadah haji pada masa itu, membuat kita nan hayati di zaman modern ini dapat memahami mengapa bila di masa lalu seorang muslim nan telah sukses melaksanakan ibadah haji dapat mendapatkan kedudukan terhormat di kalangan masyarakat begitu kembali ke negeri asalnya.

Mereka kemudian mendapatkan gelar “haji” ataupun “hajjah” di depan nama panggilannya. Sebuah gelar nan generik disandang para jemaah haji nan tinggal jauh dari Baitullah, seperti mereka nan berasal dari Negara Indonesia ataupun Malaysia. Sedangkan gelar ini tak populer di negara-negara di Timur Tengah nan dekat dengan Baitullah.

Kapankah Kaum Muslim Di Indonesia Mulai Melakukan Perjalanan Ibadah Haji?
Jawabannya ialah sejak Islam menyebar di Indonesia lewat para kafilah dagang nan mampir dan berniaga di Nusantara, artinya semenjak para juru dakwah menyebarkan Islam ke masyarakat di Indonesia. Hal ini termaktub dalam naskah antik nan sempat ditemukan, yaitu naskah ‘Carita Parahiyangan’ nan mengisahkan tentang pemeluk agama Islam nan pertama kali di tanah Sunda.

Sedangkan naskah antik nan memuat kisah tentang perjalanan ibadah haji orang-orang zaman dulu selain ‘Carita Parahyangan’ ialah ‘Carita Purwaka Caruban Nagari’ dan juga naskah-naskah nan berisi tradisi di Cirebon seperti ‘Wawacan Sunan Gunung Jat’i, ‘Wawacan Walangsungsang’ dan ‘Babad Cirebon’.

Beberapa catatan tentang kaum muslimin Indonesia nan pada zaman dulu nan telah sukses menunaikan perjalanan ibadah haji, memperlihatkan fenomena pada zaman itu ternyata ibadah haji merupakan ibadah nan hanya terjangkau kaum elit, yaitu orang-orag dari kalangan istana atau keluarga kerajaan.

Nampaknya pada zaman itu, perjalanan buat melaksanakan ibadah haji memerlukan pengorbanan harta nan sangat besar. Selain sebab menurut syariat bahwa orang nan melakukan perjalan ibadah haji harus meninggalkan keluarganya dalam kondisi mampu, dalam arti jangan sampai keluarganya justru menderita kelaparan sebab seluruh harta telah dipakai perjalanan haji.

Seorang nan melakukan perjalanan haji juga harus mempersiapkan biaya hayati nan tak sedikit buat perjalanan ibadah hajinya nan dapat jadi butuh waktu berbulan-bulan lamanya.



Perjalanan Melaksanakan Ibadah Haji Saat Ini

Saat ini perjalanan ibadah haji bisa dilakukan dalam waktu singkat. Seorang nan berencana melaksanakan perjalanan ibadah haji tinggal mempersiapkan dana nan dikenal dengan nama ‘ONH' (Ongkos Naik Haji). Nilai ONH besarnya ditentukan pemerintah. dalam nilai rupiah, nilai tiap tahunnya berbeda tergantung nilai kurs mata uang nan berlaku saat itu.


Beberapa forum KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) di bawah pengawasan pemerintah di bawah manajemen Departemen Agama, mereka membantu mengkoordinir penyelenggaraannya. Namun saat ini tiap tahunnya para calon jama’ah haji harus mengantri buat dapat melakukan perjalanan ibadah haji, sebab jumlah kuota jemaah haji tiap negara per tahunnya dibatasi oleh Pemerintah Arab Saudi. Hal ini dilakukan dengan asa para jama’ah haji dapat difasilitasi dengan baik.