Durhaka Terhadap Ummi dan Balasannya

Durhaka Terhadap Ummi dan Balasannya

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah nan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah loka kembalimu” . (QS. Luqman: 14)

Dari sekian kebaikan nan wajib dilakukan seorang manusia di bumi ini ialah kewajiban berbuat baik terhadap kedua orang tua. Mereka ialah ibu ( ummi ) dan bapak kita nan paling berjasa terhadap keberadaan dan kesuksesan kita saat ini. Terutama kepada ibu.

Rasulullah telah menjelaskan bahwa berbuat baik terhadap seorang ibu ialah tiga kali lebih primer daripada kebaikan terhadap seorang bapak. Mengapa? Kita dikandung oleh seorang ibu dan bukan oleh bapak. Kita dilahirkan oleh seorang ibu nan mempertaruhkan hidupnya demi kelahiran anaknya. Setelah kita lahir, orang nan pertama kali memberi tetesan air susu ialah seorang ibu dan bukan seorang bapak.

Ibulah sekolah pertama nan memberikan pendidikan terhadap anaknya, bukan bapaknya. Ibu, dalam bahasa arab disebut ummi. Makanya dalam tulisan ini aku banyak menggunakan kata ummi sebagai persamaan kata ibu. Al-ummu madrasatun, seorang ibu ialah loka sekolah bagi setiap anak-anaknya. Karena itulah kita harus bersikap lembut kepada kaum ibu sebagai wanita. Setiap taman mempunyai bunga, dan kembang taman ialah ibu.

Mereka ialah belahan lelaki, ibu semua orang. Mereka ialah makhluk nan lembut, satu bentuk keindahan, banyak ulama besar nan lahir dari rahimnya, sering mengasuh orang-orang besar, dan mereka nan mencetak para orang bijak. Di mata ibu selalu tersimpan rahasia, di pelupuk matanya ada berita. Di dalam asuhannya ada pengertian tentang kedermawanan. Dalam dekapannya, ada cinta nan terpuji. Ciuman kepada anak-anaknya ialah shalawat hati.

Bakti anak kepadanya merupakan ridha Allah. Rasul bersabda, “ Keridhaan Allah ada pada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orang tua ”. Begitu mulianya posisi seorang ummi . Dialah nan merasa kenyang ketika anaknya tak kelaparan. Dia lapar ketika anaknya tak ada nan kenyang. Hilangnya seorang ummi dari kehidupan akan mengubur kebahagiaan. Lenyapnya seorang ummi dari pentas global berarti terbunuhnya kegembiraan.

Fakta telah berbicara, survei membuktikan dan kisah konkret telah menunjukkan. Seorang Al-Qamah nan shaleh dan rajin beribadah sangat berat saat sakaratul maut-nya sebab durhaka pada umminya. Umminya sempat tak mengakuinya sebagai anak dan membiarkannya menderita dan tersiksa. Namun ketika Al-Qamah hendak dibakar oleh nabi sebagai jalan keluar, barulah sang ummi membuka hati, menyadari, mengampuni, dan dan meridhainya.

Sebaliknya, kisah berhasil orang-orang besar tidak lepas dari bakti mereka kepada kedua orang tuanya, khususnya kepada ibunya, serta tentunya dukungan dan do’a ibu nan tidak kenal jemu. Abu Hurairah, Imam Syafi’i, Imam Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abdullah Azzam, serta tokoh-tokoh pada masa ini dan Muslim berhasil tidak pernah lepas dari peran serta kemuliaan seorang ibu.

Maka, buat sekadar mengingatkan, mari kita simak sabda latif Rasulullah saw., “ Orang tua ialah pintu surga nan paling tengah. Terserah padamu, apakah kau sia-siakan pintu itu atau memeliharanya. ” (H.R Tirmidzi)

Dalam ajaran Islam, berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua disebut birrul walidain . Islam menegaskan bahwa seorang anak wajib berbakti, mengabdi, mematuhi dan merawat kedua orang tua, menjamin hak-hak mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini juga nan mengindikasikan betapa besar perhatian Islam terhadap kedua orang tua sampai-sampai Allah meletakkan perintah berbakti kepada kedua orang tua setelah iman kepada Allah.

Berbakti kepada kedua orang tua ialah salah satu cara buat menyelamatkan seseorang dari barah neraka. Sebab keridhaan Allah itu, pada hakikatnya terletak pada keridhaan orang tuanya dan kemurkaan-Nya terletak pada kemurkaan kedua orang tuanya. Kita harus mengubah kerangka berpikir berbakti kepada kedua orang tua bukan sekadar mengakhiri penderitaan, melepas beban, atau sekadar menunaikan kewajiban, tapi marilah kita lihat sebagai awal dan investasi kebaikan di akhirat.

Seorang lelaki sedang thawaf dengan menggendong ibunya, maka laki-laki itu bertanya kepada Rasulullah saw., “ Apakah dengan ini aku telah melaksanakan kewajiban aku kepadanya? ” Rasulullah menjawab, “ Tidak! Tidak sebanding dengan satu kali hentakan (saat melahirkan)" . (HR. Al-Bazzar).

Begitu besar jasa ummi, kita tak akan pernah mampu membalas jasanya, meski harus menggendongnya dalam keadaan thawaf sekalipun. Begitu besar jasa ummi. Sekali hentakan saat melahirkan, buat membalasnya kita tidak mampu. Terlalu banyak jasa ummi. Lalu apa balasan kita?Saat kita berumur 6 bulan, ummi menyuapi dan memandikan kita. Sebagai balasannya kita menangis sepanjang malam.

Saat berumur satu tahun, ummi mengajari kita berjalan. Kita balas dengan berlari kabur saat ummi memanggil kita. Saat berumur tiga tahun, ummi memasak semua kuliner kesukaan kita dengan penuh kasih sayang. Sebagai balasannya kita buang piring berisi makanan ke lantai. Saat kita berumur empat tahun, lima tahun, enam tahun, tujuh tahun ummi selalu memenuhi kebutuhan kita tanpa menggerutu dan mengeluh sekalipun.

Lalu apa balasan kita? Sebagai balasannya kita bersikap buruk, bermain seharian, dan pulang ke rumah dengan muka masam dan berongsang tanpa sebab. Fenomena ini sinkron dengan apa nan termaktub dalam hadits Rasulullah, “ Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, “Beritahukan saya tentang tanda-tandanya (hari kiamat). Beliau bersabda, “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, orang-orang miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggalkan bangunannya." (HR. Bukhari Muslim).

Hadits ini ialah peringatan keras dari nabi. Peringatan mengenai “ Seorang hamba melahirkan tuannya. ” Ini tanda seksama kalau kiamat makin dekat. Banyak pembangkangan terhadap kedua orang tua. Anak-anak memperlakukan orang tuanya seperti tuan atau majikan memperlakukan hamba sahayanya atau budaknya.



Durhaka Terhadap Ummi dan Balasannya

Rasulullah saw. bersabda, “ Kama tadiinu tudaanu. Sebagaimana kamu memperlakukan maka begitu juga kamu akan diperlakukan .” (HR. Ibnu Adi). Hadits ini seolah mengingatkan bahwa siapa nan menanam, bakal memanen. Siapa menebar bakal menuai. Siapa serius bakal lulus. Siapa berbuat bakal dapat. Mari kita belajar dari berbagai kisah buat menggugah jiwa dan memerdekakan rasa.

Membuka ruang kesadaran, agar kesalahan tidak jadi kebiasaan, agar dosa kecil tidak tumbuh besar, dan agar dosa besar tidak semakin besar. Untuk itu, simaklah cerita berikut nan mudah-mudahan dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. Seorang nenek tinggal dengan anak, menantu, dan cucunya nan berusia enam tahun. Tangan orang tua ini begitu ringkih dan sering bergerak tidak menentu. Penglihatannya kabur. Cara berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun nenek tua itu sudah pikun sehingga sering mengacaukan segalanya. Tangannya nan bergetar dan matanya nan rabun membuatnya susah buat menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat sang nenek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun gusar.

Mereka merasa direpotkan dengan semua itu. “ Kita harus melakukan sesuatu ,” ujar sang istri, “ Aku sudah bosan membereskan semuanya buat nenek tua ini .” Lalu, suami istri itu membuat meja kecil di sudut ruangan. Di sana sang nenek akan duduk buat makan sendirian saat semuanya menyantap makanan. Mereka juga memberi mangkuk kayu kepada si nenek.

Acapkali keluarga itu makan malam, terdengar isak tangis kesedihan dari sudut ruangan. Ada air mata nan mengalir dari gurat keriput si nenek. Namun, kata nan keluar dari suami istri itu ialah omelan agar si nenek tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka nan berusia enam tahun memandangi dan merekam semua itu dalam diam. Suatu malam sebelum tidur, suami istri itu melihat anaknya sedang membuat mainan dari kayu.

Dengan lembut mereka menyapa anaknya. “ Nak, kamu sedang membuat apa? ” Anaknya menjawab, “ Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu. Saat ku besar nanti, akan kuletakkan di sudut itu, di loka nenek biasa makan. ” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Jawaban anak itu membuat suami istri itu terpukul. Mereka tidak mampu berkata apa-apa lagi.

Air mata bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tidak ada kata-kata terucap, keduanya mengerti ada sesuatu nan harus diperbaiki. Mereka akhirnya tersadar dari kesalahan nan mereka lakukan. Malam itu mereka menuntun tangan si nenek buat kembali makan bersama mereka di meja makan. Tak ada lagi omelan nan keluar saat piringnya jatuh dan makanan tumpah menodai taplak meja. Kini, mereka dapat makan bersama lagi di meja utama.

Begitulah Allah memberi peringatan. Hal inilah nan membenarkan, bagaimana engkau memperlakukan, begitu pula engkau diperlakukan. Anak ialah rekaman pribadi kita. Karena itu, marilah kita berbakti kepada ummi dan bapak kita, maka kita akan mendapat bakti juga dari anak-anak kita.