Persoalan Puisi Agama Islam

Persoalan Puisi Agama Islam

Sebenarnya disadari atau tidak, karya sastra sebagai salah satu hasil proses berpikir dan perenungan dari seorang seniman, tak tercerabut dari akarnya sendiri yaitu masyarakat, demikian pula dengan puisi agama Islam atau puisi religious. Puisi sebagai bagian dari karya sastra lahir dari masyarakat, dibuat atau dicipta oleh seorang artis nan juga bagian dari masyarakat, kemudian karya sastra itu dibuat buat dimasyarakatkan atau dipublikasikan. Dengan demikian apabila ada karya sastra nan tak diterima di masyarakat atau tak mengangkat tentang persoalan nan ada di dalam masyarakat dan juga tak dimaksudkan buat dimasyarakatkan, sebenarnya itulah karya sastra nan gagal.

Karena karya sastra itu lahir dari masyarakat dan buat dipublikasikan kepada masyarakat agar pesan-pesan moral menjadi salah satu metoda buat turut-serta memperbaiki keadaan masyarakat, maka pada perkembangannya tak terpisahkan dari keadaan masyarakat itu sendiri. Demikian halnya dengan puisi agama Islam, menjadi salah satu cara para dai atau para sufi buat menyampaikan pemikiran-pemikirannya tentang berbagai persoalan nan terjadi di masyarakat sekaligus memberi jalan keluar. Puisi agama Islam menjadi bagian dari perkembangan sastra dunia, bagian tidak terpisahkan dari perkembangan Islam dan masyarakat muslim itu sendiri.



Islam dan Sastra

Tidak dapat terbantahkan kalau kemudian karya sastra selain terdefinisi sebagai nilai sastra itu sendiri, sebenarnya merupakan alat bagi siapa nan memegang sastra tersebut. Dengan demikian di dalam karya sastra kita mengenal adanya istilah sastra profetik, sastra jenis ini merupakan penjelmaan nilai-nilai religi diubah suai dengan nilai-nilai estetika sebuah karya sastra. Salah satu diantaranya ialah puisi agama Islam atau puisi religious.

Puisi sebagai salah satu bagian dari karya sastra juga memiliki karakter nan sama. Puisi merupakan salah satu jenis sastra nan dimanfaatkan oleh para dai-dai atau ulama Islam buat menyampaikan nilai-nilai ajakan menuju kebenaran. Puisi agama Islam atau sering disebut juga dengan puisi-puisi sufi sangat kental dengan nilai-nilai ajakan kebenaran dan kedekatan jiwa dengan Tuhan. Namun sebab di dalamnya atau cara menyampaikannya melalui kata-kata nan terpilih, apabila tak dicermati secara baik dan benar, seringkali menimbulkan bias atau salah interpretasi.

Namun sejarah telah mencatat bahwa melalui sebuah puisi, para pendakwah Islam menyampaikan nilai-nilai dakwahnya. Kenapa demikian? Islam memandang segenap segmentasi kehidupan sebagai satu kesatuan nan utuh, tak ada hal nan perlu diparsialkan. Islam mencakup semua aspek kehidupan, sosial, budaya, seni, politik dan seterusnya. Dengan demikian puisi agama Islam merupakan wahana nan sah-sah saja dipakai buat menyampaikan nilai-nilai ajakan kebenaran tadi.

Penyair dan penulis nasional nan kental dengan perbedaan makna sastra profetik diantaranya kita mengenal seperti; Ahmadun Yosi Herfanda, Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor, E. Rokajat Asura dan sebagainya.

Puisi agama Islam dengan karakteristiknya merupakan holistik isinya bermuatan dakwah. Baik dari segi pemilihan diksi, metafora maupun pesan nan terkandung. Jadi belum dikatakan sebagai puisi religi jika puisi tersebut ditulis buat mendekatkan diri pada Tuhan namun baik dari segi diksi maupun metaforanya menggunakan kata-kata kotor nan cabul. Meskipun secara bahasa tidak harus mengedapankan simbol-simbol agama Islam, namun nan paling krusial ialah kepiawaian seorang penyairnya buat mengontrol pilihan diksi nan ia sajikan. Memang sahih bahwa estetika puisi agama Islam seringkali menjadi salah satu daya tarik seorang non muslim buat kemudian mempelajari Islam. Dari sisi ini saja artinya sebagai wahana dakwah, puisi telah sukses melaksanakan tugasnya dengan baik.



Contoh Puisi Agama Islam

Berikut disajikan beberapa contoh puisi agama Islam nan bemuatan ajakan pada nilai-nilai dakwah dan kebenaran;

Jika Ku Tak Bangun Malam Ini

Jika ku tidak bangun malam ini...

Kutau jejalan maksiat nan menumpah ruang penghambaan

Kelakar kosong nan kugelar di pentas siang

Atau...

Selimut setan nan memoles kehangatan

Weker usang nan hanya merisik helaan

Jika ku tidak bangun malam ini...

Kutau aisyah-aisyah di luar sana tetap khusyu’ dalam sujudnya

Dan saya hanya dilena mimpi tidak berujung

Aku malu...

Malaikat datang menjenguk dan saya alpa

Lalu apa pesanku padanya?

Pantaskah surat cinta pada Allah saya titipkan?

Layak kah kusodor lembar-lembar doa nan kutulis tadi siang?

Sedang saya tidak menyambutnya, tidak mempersilahkannya..

Jika ku tidak bangun malam ini...

Ku ingin seribu aisyah menjagakanku

Ku ingin dingin wudhu mereka membasahkan nadiku

Kuingin..............

Jika ku tidak bangun malam ini...

Biarlah ini menjadi malam kerdil si pemburu asa

Biarlah ia berlama-lama esok di dhuhanya

Biarlah kering lidahnya melafal kalimah cintaNya

Biarlah sebelum fajar ia berletih-letih

NUR

Kataku terbata

Dijemput mimpi nan mengambang

Rusak di alas peraduan lena nan mengosong

Tercari dalam samar

Tetes nan menghidupkan nadi

Memotong mimpi

Keluh nan tidak tersambut

biar mengalir ke muara semu

Tak tertampung dalam wadah pikiran

Kutelusur sinar digelap nan memekat

Di atas sajadah tidak bertulis cinta

KAU tidak mengenali

Aku lah si pemburu cinta

Tuhan, Inilah Aku

Aku seadanya

Dengan rupa sedehana

Menatap-Mu luruh seluruh

Sebongkah nista

Dalam baju dosa

Belum mampu saya bangkit ketika kalam-Mu menyapa ruang terdalamku

Bagai butiran pasiran, satu-satu

Entah apa hendak kupeluk

Pada kemelam, entah jua

Kau dimana, saya mencari

Tuhan, akulah insan sederhana

Rindu kejernihan Kautsar

Malu saya Tuhan



Persoalan Puisi Agama Islam

Puisi secara generik seringkali hanya berdiri di menara gading sebab persoalan-persoalan estetik. Untuk mencapai nilai estetik, para penyair seringkali berada di menara gading, sebuah posisi nan seolah-olah tak dapat disentuh oleh masyarakat secara umum. Pada puisi-puisi tertentu, seringkali ketika berada pada posisi tersebut membuat penyair merasa bangga. Padahal persoalannya ialah ketika puisi berangkat dari persoalan masyarakat, dibuat buat dipublikasikan kepada masyarakat sebagai salah satu cara atau upaya memberi jalan keluar dari persoalan-persoalan kehidupan, maka apabila tak dipahami oleh masyarakat itu sendiri merupakan karya nan gagal.

Demikian halnya dengan puisi agama Islam. Terlebih apabila puisi agama Islam ini akan dijadikan media dakwah, bahwa karyanya itu kelak harus dipahami oleh masyarakat sebagai sebuah solusi spiritual dari berbagai persoalan kehidupan, maka karya puisi agama Islam itu harus dimengerti banyak orang menjadi hal nan harus dipertimbangkan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa latar belakang pendidikan, sosial, kultur, seringkali menjadi persoalan-persoalan lain nan membuat puisi sebagai salah satu media dakwah mengalami persoalan pula.

Secara generik baik di dalam khasanah sastra global maupun sastra Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa karya puisi dibanding dengan prosa, lebih memasyarakat prosa. Ini juga menjadi persoalan tersendiri ketika puisi dan puisi agama Islam benar-benar akan dijadikan media dakwah dalam arti dijadikan salah satu wahana nan berisi solusi dari persoalan-persoalan kehidupan. Terkecuali bila puisi dan puisi agama Islam itu hanya menyasar sekelompok orang nan memiliki taraf pemahaman terhadap puisi nan baik. Kemudian kelompok orang nan disasar ini menjadi agent of change nan dengan pemahamannya, dengan bahasannya sendiri kemudian menyampaikan muatan-muatan puisi dan puisi agama Islam tersebut.