Prinsip Dasar dan Asas Perkawinan

Prinsip Dasar dan Asas Perkawinan

Bila didefinisikan secara romantis, perkawinan itu ialah suatu alat buat menyatukan dua hati nan berbeda. Dalam sebuah perkawinan, ketika dua hati telah bersatu, maka disparitas pun akan hilang dengan sendirinya, melebur ke dalam kesahajaan masing-masing. Seperti itulah, sepertinya perkawinan menurut orang-orang nan sedang dimabuk asmara. Namun, dalam UU perkawinan, apakah juga seperti itu?

UU perkawinan mengartikan sebuah perkawinan sebagai suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita dalam interaksi sebagai suami istri nan tujuannya buat membentuk suatu keluarga atau rumah tangga nan kekal dan senang atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebuah perkawinan akan dinyatakan absah apabila telah dilakukan sinkron dengan hukum perkawinan nan berlaku menurut agama dan kepercayaan masing-masing, serta tercatat pula dalam forum nan berwenang sinkron perundangan nan berlaku pada saat itu.



Perkawinan Ditinjau dari Segi Agama

Dalam agama, perkawinan dipandang sebagai suatu bentuk ibadah nan kudus dan wajib dijaga oleh suami maupun istri, nan bertujuan pada keluarga nan sakinah, mawaddah, dan wa rahmah.

Dalam pandangan Islam, perkawinan bahkan sangat dianjurkan bagi nan telah mampu melaksanakan buat menghindari hal-hal jelek nan mungkin terjadi ketika perkawinan tak segera dilaksanakan. Misalnya, seorang pemuda nan sudah cukup umur dan mulai tertarik dengan versus jenisnya, sementara dia sudah memiliki pekerjaan, disunahkan baginya buat segera menikah.

Dengan jalan ini, maka kejahatan-kejahatan nan mungkin akan timbul, misalnya niat buruk ketika melihat versus jenisnya dan hal lain sebagainya, dapat dicegah dengan sendirinya.

Sementara itu, UU perkawinan mengatur dasar dan tujuan perkawinan berdasarkan agama Islam. Dasar hukumnya ialah dari Q.S An-Nuur ayat 32, nan memiliki arti “Dan kawinlah orang-orang nan sendirian di antara kamu dan mereka nan berbudi pekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu nan perempuan".

Sedangkan buat tujuan perkawinan, UU perkawinan juga mengacu pada Q.S Ar-Ruum ayat 21, nan artinya "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan hayati dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada nan demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum nan berfikir."



Sejarah UU Perkawinan

Keberadaan UU perkawinan itu sendiri di Indonesia telah melalui berbagai rentetan sejarah. Namun, pada dasarnya ialah pencerahan kaum wanita nan pada waktu itu merasa hak-haknya tak dipenuhi secara adil dalam sebuah perkawinan. Bahkan, perkawinan pada masa belum lahirnya undang-undang ini, cenderung melecehkan kaum wanita.

Pria kebanyakan hanya menganggap para wanita hanyalah sebagai pelengkap dalam rumah tangga, bahkan ada nan hanya menganggap sebagai pemuas nafsu seksualnya saja. Sehingga dalam perkawinan, wanita selalu terhina dan terabaikan, baik secara fisik maupun mental.

Pada tanggal 1 Oktober 1950, terbitnya surat keputusan Menteri agama No. B/2/4299 tentang pembentukan Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam, membawa angin segar bagi global perkawinan, khususnya pihak wanita. Di sisi lain, masyarakat monoton mendorong Dewan Perwakilan Rakyat pada waktu itu buat membuat RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam.

Akhirnya, dengan perjuangan nan panjang, RUU sukses disiapkan pada tanggal 31 Juli 1973 dengan No R. 02/PU/VII/1973. Ruu tersebut terdiri dari 15 Bab dan 73 pasal. Secara garis besar, RUU Perkawinan ini memiliki tiga macam tujuan, diantaranya memberi kepastian hokum pada hal-hal nan berkaitan dengan perkawinan, melindungi hak-hak kaum wanita, dan menciptakan UU nan sinkron dengan tuntutan kemajuan zaman.



Prinsip Dasar dan Asas Perkawinan

Prinsip dan asas dasar perkawinan menurut UU perkawinan ada pada UU no 1 tahun 1974, di mana semua itu ditetapkan dalam beberapa hal, di antaranya ialah sebagai berikut.



1. Tujuan perkawinan

Seperti nan telah disebutkan di atas bahwa perkawinan memiliki tujuan buat membentuk keluarga nan kekal dan senang atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam hal ini, sepasang suami istri selayaknya memiliki keinginan buat melengkapi pasangan masing-masing, sehingga bisa bersama-sama membuat kepribadian mereka berkembang dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, baik itu secara material maupun spiritual.



2. Sahnya sebuah perkawinan

Sebuah perkawinan dapat dinyatakan absah menurut UU perkawinan jika dilakukan menurut hukum nan berlaku dari masing-masing agama dan kepercayaan nan bersangkutan dan dicatat dalam anggaran undang-undang nan berlaku pada saat itu. Pencatatan perkawinan ini prosesnya sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa krusial lainnya semacam kelahiran, kematian, dan lain-lain.



3. Monogami sebagai asasnya

UU perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, yaitu asas nan apabila dikehendaki dan diijinkan oleh nan istri bersangkutan, maka seorang suami bisa memiliki lebih dari satu istri. Akan tetapi, syarat-syarat nan harus dipenuhi dalam hal ini ada dan telah diputuskan oleh pengadilan.



4. Prinsip dasar perkawinan

Perkawinan menurut UU perkawinan, memiliki prinsip dasar, yaitu bahwa kedua (suami istri) harus telah dewasa secara jiwa dan raga dengan tujuan buat bisa menciptakan perkawinan nan baik tanpa adanya perceraian di kelak kemuadian hari nanti.

Oleh karena itu, pemerintah sinkron dengan undang-undang nan telah diputuskannya ini tak mengijinkan perkawinan nan terjadi di bawah umur. Salah satu alasan wanita menikah pada usia di bawah umur ialah bahwa hal ini dapat mempercepat laju pertumbuhan penduduk mengingat wanita memiliki masa-masa produktif nan lebih panjang jika perkawinan dilakukan pada usia muda.



5. Mempersulit perceraian

Perceraian bukan hanya hal nan dibenci oleh Tuhan, tapi dalam UU perkawinan pun, hal-hal seputar perceraian ini sangat dipersulit buat dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar pasangan-pasangan nan sudah menikah tak dengan mudahnya melakukan perceraian. Apalagi ketika rumah tangga mereka telah dianugerahi anak-anak. Perceraian akan semakin menghadapi kendala nan lebih banyak.

Hanya alasan-alasan eksklusif dan masuk akal saja nan perceraiannya akan dikabulkan oleh pengadilan, itupun dengan proses sidang nan memakan waktu tak singkat.



6. Hak-hak istri

Berbeda dengan perkawinan pada zaman dahulu, kedudukan dan hak wanita dalam UU perkawinan di Indonesia sekarang ini lebih dihargai, seorang wanita memiliki hak dan kedudukan nan sama dengan suaminya dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan sosialnya.



UU Perkawinan dan Kedurhakaan Wanita

Begitulah pemerintah mengatur perkawinan masyarakatnya. Semuanya dituangkan secara rinci dalam Undang-Undang perkawinan nan aturan-aturannya sangat jelas serta sangat menghargai hak-hak para wanita sebagai makhluk nan lebih lemah dibandingkan pria.

Pada undang-undang buat perkawinan nan berlaku saat ini, tak ada lagi hal-hal nan mendiskreditkan wanita sebab sebenarnya perkawinan bukan hanya milik para pria, melainkan juga hak setiap wanita buat diperlakukan adil dan baik oleh pasangannya.

Jika banyak wanita saat ini, kemudian menjadi banyak nan terkadang seperti mendurhakai kodratnya sebagai wanita dan suaminya, itu semata-mata bukan salah undang-undang. Mengingat semua nan ada dalam undang-undang perkawinan, pada hakekatnya ialah baik bagi suami maupun istri, tapi individulah nan kemudian bertindak melebihi aturan, sehingga lalu timbul hal-hal nan tak sepatutnya terjadi.

Misalnya, istri nan menganiaya suami, istri nan selingkuh, ataupun istri nan menelantarkan anak-anaknya sendiri. Semua hal nan seperti itu bukan merupakan emansipasui nan diatur dalam undang-undang perkawinan, melainkan dosa nan akan ditanggung sendiri dan dipertanggungjawabkannya pada Tuhan di kemudian hari nanti.

Dari hal ini, hendaknya para wanita lebih mensyukuri apa nan telah dapat dicapainya saat ini. Bayangkan, jika dahulu hak-hak wanita tak pernah dituangkan dalam UU Perkawinan, apa nan akan terjadi pada nasib wanita Indonesia?